Secara bahasa, naqd atau kritik berarti
penelitian, analisis, pengecekan, pembedaan yang baik dan yang buruk,
penampakan hal yang buruk, dan diskusi. Dalam bahasa Yunani, kata naqd
atau kritik yang berasal dari kata krites (hakim) berarti menghakimi,
membandingkan, atau menimbang. Berdasarkan arti leksikal itulah, kata naqd
atau kritik biasanya didefinisikan sebagai proses meneliti apa aja, membedakan
karakternya antara yang baik dan yang buruk, dan menilainya sesuai dengan
ukuran-ukuran tertentu. Kata kritik, karena itu menyimpan makna apresiasi
secara proposional terhadap suatu objek dengan cara memujinya dan
menjelekkannya.[1]
Sementara
kata adab dalam bagian ini menunjuk pada adab dalam pengertian al
adab al insyai (sastra kreatif/ imajinatif) sebagaimana yang telah
dijelaskan di bagian II. Berdasarkan penjelasan dua kata tersebut, naqd adab
atau kritik sastra berarti pengkajian terhadap karya sastra yang yang
menganalisis dan menjelaskannya agar bisa dipahami dan dinikmati pembaca dan
kemudian menilainya secara objektif. Kritik sastra merupakan kajian yang
memperbincangkan tentang pemahaman, penghayatan, penafsiran dan penilaian
terhadap karya sastra.[2]
Dalam
disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan salah satu dari tiga bagian ilmu
sastra yang terdiri dari teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sebagaimana
yang telah dijelaskan. Dalam pengertian dan hubungan naqd adab dengan
dua ilmu sastra lainnya, ada banyak fungsi kritik sastra. Pertama,
menjelaskan karya sastra. Ini karena karya sastra, termasuk puisi, seringkali
menggunakan bahasa-bahasa padat dan simbolik dimana makna yang dimaksud
sastrawan bukan yang tersurat tetapi yang tersirat. Kedua, meluruskan
kekeliruan karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, logika, moral, teori sastra,
dan kekeliruan estetikanya. Dalam fungsi penglurusan ini, kritik sastra juga
berfungsi membantu sastrawan pemula dalam meningkatkan karya sastranya sehingga
menjadi sastrawan besar. Ketiga, menunjang ilmu sastra. Analisis sastra
dari para kritikus memberi sumbangan besar dalam pengembangan teori dan sejarah
sastra, karena ketiganya berkaitan.[3]
Secara
umum naqd adab terbagi dalam dua jenis: kritik sastra tak ilmiah dan
kritik sastra ilmiah. Kritik sastra tak ilmiah adalah kritik sastra yang
bersifat emosional. Kegiatannya hanyalah berupa penyampaian kesan sejauh
menggelitik jiwa pengeritik. Kritik sastra ilmiah adalah kritik sastra yang
bertolak dari teori, bahkan boleh jadi merupakan terapan sebuah teori. Pengeritik
bekerja secara teoritis. Ia menggunakan pendekatan, metode, dan teknik
tertentu.[4]
Dalam
kritik sastra Arab saat ini, setelah melewati masa yang panjang dari klasik
hingga modern, dari yang orisinal Arab hingga pertemuannya dengan tradisi
sastra Helenik dan tradisi sastra Barat modern- sebagaimana diungkap Muhammad
Hasan Abdullah, terdapat banyak metode kritik sastra. Pertama, metode
kritik linguistik, yang matang di tangan Abdul Qahir al Jurjani yang tidak saja
mementingkan interaksi dengan kata, tapi juga struktur kalimat. Menurut para
ahli metode ini, unsur-unsur linguistik yang ada dalam sastra merupakan media
pertama yang membawa seorang kritikus mampu menganalisis sastra dengan baik. Kedua,
metode klasik yang mementingkan pengkajian terhadap bagian-bagian kata dan
makna, wazan atau bahr dalam syair, dan penguasaan khazanah
sastra Arab. Ketiga, metode estetik yang mementingkan bentuk sastra,
karena kekuatan dan tujuan penciptaan syair adalah keindahan bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar