Efek Blog
Efek Blog
Efek Blog
Toad Jumping Up and Down

Jumat, 23 Desember 2016

PUISIKU



TINTAKU SUNYI
Oleh: Syaidatu Alfi Nur Faizah


Aku terpaku dalam kesendirian
Memegang sebatang pena
Namun tak mengerti arah tujuan
Aku pun tak tahu mengapa
Tiba-tiba secoret tinta mengalir
Menulis kata “SUNYI”
Lalu tergeletak begitu saja
Memperhatikan gerak bibirku
Yang tak seperti biasa
Mataku terus memandangnya
Berusaha memahami maksud tujuannya
Sedikit demi sedikit
Aku mulai mengerti
Seolah ia gambarkan suasana hati
Hati yang terbelenggu dalam sepi
Perlahan aku mulai mengingat
Coretan tinta semakin memberi isyarat
Nafasku tersekat sejenak
Ya Rasulallah! Ya Rasulallah!
Hatiku tersapa rindu
Air matap mulai berlinang
Bahkan, suarapun mulai mengeras
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد
يا مصطفى... يا مصطفى...
Sungguh aku merindukan
Bibir bergerak seolah tak bisa berhenti
Air mata mengucur deras
Merasakan kerinduan sejati
Selembar kertas putih telah menjadi saksi
Kini aku mengerti
Mengapa tintaku sunyi
Karena aku tak pernah memahami
Ia butuh coretan penuh arti

Kamis, 22 Desember 2016

PUISIKU



SAJAK SANG EMBUN
Oleh: Syaidatu Alfi Nur Faizah

Bening...
Sejuk...
Telah aku jumpai setetes karena merindukan-Nya
Damai hati terlindung dari yang fana
Sepertiga malam telah kusaksikan
Bukti cinta penuh dengan kenyataan
لا حول ولا قوة إلا بالله
Sungguh, telah terbukti nikmatnya
Berkomunikasi dengan Sang Penguasa
Qalbu jernih, fikiran terbuka
Mentadabburi keindahan alam semesta
Setetes embun kembali menetes
Ia pun tersenyum manis
Lalu berkata kepada Rabb-nya
Sungguh, aku merasa bahagia
Dimiliki oleh hamba-Mu yang istimewa
Penuh ketulusan dalam setiap penyesalan
Sungguh, aku sangat bersyukur
Selalu digunakannya untuk tafakkur
Hingga dunia pun berkata lirih
“aku iri padamu
Karena dia tak pernah menyiakanmu
Sedangkan saat ini, aku benar-benar diabaikannya”
Tiba-tiba...
Untaian tasbih menyaksikan
Derai embun mengalir deras
Ia mengeluhkan kepada Rabb-nya
Aku khawatir
Aku takut
Jika suatu saat nanti terjatuh sia-sia
Sudahkah aku tak dibutuhkan?
Hingga, hanya karena hal sepele
Aku tak dipedulikan
Aku tak ingin melihat dunia tertawa lepas
Menyaksikanku terbuang sia-sia
Sungguh aku merasa malu
أستغفر الله... أستغفر الله...

MU'TAZILAH, ASY'ARIYAH, DAN MATURIDIYAH



MAKALAH
TEOLOGI ISLAM
PAHAM MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH, DAN MATURIDIYAH

 

Dosen Pembimbing:
Dien Nur Chotimah, M.Pd

Disusun oleh:
                              Ahmad Dliya Almunabbih         (13310015)
                              Silviyatul Maghfiroh                  (13310022)
                              Syaidatu Alfi Nur Faizah           (13310053)



JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016



KATA PENGANTAR

            الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين. والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما بعد...
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas izin dan kehendak-Nya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga, dan seluruh sahabatnya.
            Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi Islam. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai “Beberapa Aliran Dalam Teologi Islam, Kerangka Berfikir, dan Pemikirannya: a. Mu’tazilah, b. Asy’ariyah, dan c. Maturidiyah”.
            Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya ilmu pengetahuan kami mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing kami yang telah memberikan limpahan ilmu kepada kami.
            Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih maksimal.
            Harapan kami, makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini berguna bagi siapapun yang membacanya.

                                                                                                Malang, 6 Oktober 2016

                                                                                                            Penulis



i


 


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
      Islam merupakan agama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah untuk mengatur interaksi antara manusia dengan Allah, sesamanya, dan juga dengan dirinya sendiri. Terlalu maraknya pemikiran ideologis yang kini sudah tidak menyatu lagi dalam tubuh umat, menjadi permasalahan utama dalam Islam. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mengembalikan kembalinya pemikiran ideologis kepada diri umat yang bukan hanya kewajiban syara’, melainkan juga merupakan kewajiban politik, sosial dan pendidikan umat, baik secara pribadi maupun kolektif.
      Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongandengan segla pemikirannya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang terjadi karena pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru, yaitu golongan Khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu dengan golongan lainnya.
      Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara stu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor al Qur’an dan sunnah, namun ada pula yang menyimpang  dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.

1.2  Rumusan Masalah
a.      Bagaimana bentuk pemahaman dalam aliran Mu’tazilah?
b.     Apa saja ajaran dalam aliran Asy’ariyah?
c.      Apa yang membedakan paham Maturidiyah dengan paham-paham lainnya?

1.3  Tujuan
a.      Memahami ajaran dalam aliran Mu’tazilah
b.     Mengetahui ajaran paham Asy’ariyah
c.      Membedakan Maturidiyah paham-paham yang lain


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Aliran Mu’tazilah
     Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu kalam (teologi Islam). Hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Mereka telah membahas sebagian problematika ilmu kalam ini pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. mereka serius menggeliutinya sekitar satu setengah abad. Memang Mu’tazilah merupakan aliran rasional dalam Islam yang paling banyak punya teori dan tokoh. Mereka membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat.[1] Mereka memberikan pemecahan atas problematika-problematika pelik semisal teori kammun, tafrah, dan tawallud, dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru. Dengan nama studi tentang akidah, mereka membahas masalah moral, politik, fisika, dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran filsafat yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia, yang merupakan filsafat Islam itu.[2]
     Problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan prinsip keadilan (Tuhan) yang mereka kembangkan. Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan menyatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim dengan memaksa kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidak adil jika Tuhan memberi pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.[3]
     Mayoritas Mu’tazilah memegangi pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan manusia itu berasal dari manusia itu sendiri, karena terkadang perbuatan-perbuatan itu mengandung aspek kedzaliman dan dosa, padahal mustahil Allah berbuat dzalim. Sebab, Allah telah mengutus rasul dan memberi berbagai taklif (tugas-tugas keagamaan), dimana keadilan tidak mungkin menghisab kecuali terhadap apa yang mereka perbuat.[4] Mereka memandang bahwa keadilan Allah menjadi hilang bila seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki.[5]
     Keadilan Allah menuntut bahwa manusia haruslah bebas. Karena tanpa adanya kebebasan ini, kenabian dan risalah tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau taklif bahkan untuk apa pengutusan para rasul kepada orang yang tidak memiliki kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan dakwah mereka? Bagaimana seseorang diperintahkan untuk melakukan atau tidak melakukan (sesuatu) sedangkan ia tidak memiliki kehendak? Namun kebebasan kehendak tidak terbatas pada prinsip keadilan saja, tetapi juga berkaitan dengan prinsip tauhid. Karena jika manusia memiliki kehendak dan kekuasaan yang berdiri sendiri, bagaimana kita bisa menyelaraskan dengan kehendak dan kekuasaan Allah? Apakah ada perbuatan- perbuatan yang melampaui kekuasaan Allah? Apakah ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaan-Nya selain yang dikehendaki-Nya? Jika kita mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, maka dengan alasan apa manusia dihisab dan disiksa?[6]
     Di sinilah aliran Mu’tazilah berlomba-lomba mengajukan pemecahan yang diarahkan kepada sikap tengah dan sinkretis. Mereka semua menerima ilmu Allah, bahwa hal-hal yang tersembunyi bagi Allah tidaklah tersembunyi. Ia mengetahui secara azali, apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan manusia yang bersifat temporal (al-hadisah) itu bersumber dari kekuasaan yang Eternal (al-Qadim), karena Allah telah memberi suatu kemampuan kepada hamba yang secara umum bisa dipergunakannya untuk melakukan dan meninggalkannya, atau Ia menciptakan suatu kekuatan kepada hamba-Nya ketika ia menghadapi semua aktivitasnya. Kemampuan baru ini setiap saat berpengaruh, keterpengaruhannya itulah yang merupakan tempat adanya pahala dan siksa. Analisa yang berkaitan dengan problematika kehendak berhubungan erat dengan tiga teori pelik, yakni penciptaan perbuatan, istita’ah dan tawallud.[7]
            Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah. Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di alam semesta.[8]
     Kebebasan manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.[9]
     Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi: Ikhtiariah dan idtirar. Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah tindakan-tindakan yang dituju akal manusia dengan berdasarkan pada pengetahuan dan kehendak. Perbuatan-perbuatan jenis ini merupakan alasan bagi taklif seperti shalat dan puasa. Sedangkan perbuatan-perbuatan idtidar adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan dari kehendak manusia, seperti api membakar dan menggigil ketika dingin. Pengaitan perbuatan itu kepada manusia kadang-kadang secara allegoris (majaz) karena perbuatan itu terjadi di tangannya. Pembagian ini mirip dengan pembagian yang dilakukan oleh sebagian teolog klasik dan modern, yang sebelumnya telah dijelaskan klasifikasi yang menyamainya pada Yahya al-Dimasyqi. Perbuatan adalah sesuatu yang temporal, sehingga harus ada yang menciptakan. Mu’tazilah serius mengkaji masalah ini, khususnya tentang pencipta bagi perbuatan-perbuatan ikhtiariah.[10]
     Pandangan Mu’tazilah secara keseluruhan, nampak dalam al ushul al khamsah, yaitu tawhid, al ‘adl, al wa’d wal wa’id, al manzilah bainal manzilatayn, dan al amr bil ma’ruf wa an nahy ‘anil munkar. Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:[11]
a.      Mengenai tauhid, bahwa Allah swt. Adalah dzat yang Maha Dahulu, yang wajib diketahui melalui sifat-sifat yang layak untuk-Nya; kemudian wajib diketahui bagaimana sifat-sifat tersebut layak untuk-Nya, juga wajib diketahui sifat wajib dan mustahil dalam setiap waktu, dan mana yang layak dalam satu waktu, rtidak untuk waktu yang lain; kemudian wajib diyakini, bahwa dari keadaan-Nya ini Dia mesti tetap satu, tidak ada yang menandingi dan menyekutukan dengan sifat-sifat, baik melalui penafian maupun pembuktian, berdasarkan batasan yang layak untuk-Nya.
b.     Mengenai keadilan adalah wajib diketahui bahwa seluruh perbuatan Allah itu baik. Allah tidak akan memberikan taklif kepada manusia yang tidak mampu dipikulnya dan dia ketahui, tetapi Dia akan memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan apa yang Dia tugaskan kepada mereka.
c.      Mengenai al wa’d (janji), ia adalah setiap berita yang berisi pemberitahuan manfaat kepada yang lain, atau menolak kemudaratan darinya pada waktu yang akan datang. Tidak ada bedanya, baik janji tersebut baik dan layak, atau pun tidak. Seperti yang dinyatakan, bahwa Allah telah menjanjikan pahala untuk orang yang taat, maka juga seharusnya dinyatakan, bahwa Dia menjanjikan kemuliaan kepada mereka, padahal tidak berhak. Sedangkan al wa’id (ancaman) adalah berita yang berisi pemberitahuan bahaya kepada yang lain, atau pencabutan manfaat darinya pada waktu yang akan datang. Tidak ada bedanya, baik ia baik dan layak, atau pun tidak. Seperti yang dinyatakan, bahwa Allah mengancam orang-orang yang berbuat maksiat dengan siksa.
d.     Mengenai manzilah bainal manzilatain (kedudukan di antara dua kedudukan), adalah bahwa orang mukallaf, tidak akan terlepas dari kemungkinan: sebagai orang yang memperoleh pahala, atau siksa.
e.      Mengenai al amr bil ma’ruf wa an nahyu ‘anil munkar, maka maksudnya adalah perintah melaksanakan kebaikan dan larangan berbuat keburukan dari dirinya sendiri.  Sedangkan bila perbuatan Allah tidak dapat dikategorikan ma’ruf, dan kejelekan yang berasal dari Allah tidak dapat pula disebut munkar.

2.2    Aliran Asy’ariyah
      Kaum Asy’ariyah karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lainnya. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.[12]
      Menurut al-Asy’ari, ada peran manusia dalam perbuatannya. Beliau tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sama sekali, sebab akan membawa kepada pengertian bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh dimintai pertanggungjawaban dalam segala hal yang timbul dalam dirinya. Aliran Asy’ariyah menganut paham pertanggungjawaban manusia terhadap Allah atas segala perbuatannya dan tanggung jawab tersebut terkait dengan kasb atau usaha dari manusia. Jadi, ada perbuatan bagi manusia yang harus dipertanggungjawabkan walaupun bukan manusia yang menciptakannya. Sulit untuk dibantah bahwa Tuhanlah yang menentukan berhasil atau tidaknya, atau seberapa jauh hasil usaha manusia tersebut.[13] Dan mereka berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.
      Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 16 Surat Al-Buruj, ayat 99 Surat Yunus, ayat 13 Surat As-Sajadah, ayat 112 Surat Al-An’am, dan ayat 253 Al-Baqarah.[14] Ayat-ayat tersebut dipahami Asy’ariyah sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku berarti Tuhan lupa, lalai, apalagi lemah, ini adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah.
      Perbedaan antara Asy’ariyah dan Jabariyah ialah, menurut Jabariyah tidak ada qudrat bagi manusia, dan tidak ada pula iradah dan tidak ada perbuatan. Sebaliknya menurut Asy’ariyah, manusia punya qudrat dan memiliki perbuatan serta punya iradah dimana perbuatannya bersandar kepadanya. Walaupun semuanya diciptakan Tuhan, namun manusia bisa dikatakn punya pilihan dalam perbuatannya. Menurut Asy’ariyah dalam memahami agama, ia tidak setuju hanya dengan berpegang kepada nash semata, karena menurutnya hal itu akan membawa Islam kepada jumud dan mundur. Sebaliknya ia juga tidak setuju dengan terlalu mengagungkan ‘aql, yang menurutnya akan membawa Islam kepada kehancuran (al-dimar).[15] Aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
      Secara umum, pandangan Asy’ariyah antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut:[16]
a.      Tidak ada seorang pun yang mampu melakukan sesuatu, sebelum melakukannya, atau mampu keluar dari ilmu Allah, atau melakukan sesuatu dimana Allah Maha Tahu, bahwa dia tidak akan melakukannya. Allah lah satu-satunya khalik, dan bahwa seluruh keburukan manusia adalah ciptaan-Nya, begitu juga seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dimana manusia tidak mampu menciptakan sama sekali perbuatannya.
b.     Allah berada di atas ‘arsy-Nya, dan bahwa Dia mempunyai dua tangan, tanpa harus diterangkan kualitasnya; Dia mempunyai dua mata, juga tanpa harus dideskripsikan kualitasnya; dia juga mempunyai wajah.
c.      Nama-nama Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah mempunyai ilmu. Mendengar dan melihat merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan dari-Nya.
d.     Al Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Ini sebagai kritik terhadap pandangan Mu’tazilah, bahwa al Qur’an adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, juga pandangan Hasyawiyyah yang berpendapat bahwa huruf-huruf, jisim, warna, dan apa saja yang terdapat di antara dua tepi mushaf adalah bukan makhluk.
e.      Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama; Dia akan dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab, mereka dihalangi untuk melihat-Nya.
f.      Orang yang memeluk Islam, tidak dapat dinyatakan kafir semata-mata karena telah melakukan dosa besar, seperti zina, mencuri, dan dosa-dosa besar yang lain. Dengan keimanannya, mereka tetap dianggap mukmin.
g.     Syafa’at Rasulullah adalah untuk orang-orang yang berdosa besar dari kalangan umat Muhammad. 

2.3    Aliran Maturidiyah
     Aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini dikarenakan adanya perbedaan keduanya dalam menentukan penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.[17] Karena menganut paham free wil dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan. Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl Sunnah wal Jamaah yang tampil bersama Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kaum Maturiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah.
     Para pengikut aliran Maturidiyah, seperti halnya orang-orang Asy’ariah, memegang teguh teks-teks agama al-Ma’syur, karena seperti halnya orang-orang Asy’ariah mereka adalah kaum salaf. Sebagai contoh, mengenai problematika ketuhanan, mereka meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang berbeda dari segala yang temporal. Jadi, Allah Maha Mengetahui karena sesuatu ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu (yang selama ini dikenal pada ilmu makhluk), juga Maha Kuasa karena suatu kekuasaan tetapi tidak seperti kekuasaan (makhluk). Kaum Maturidiyah menggambarkan teori ketuhanan sedemikian rupa yang bertujuan meng-Esa-kan dan menyucikan (Allah), seperti yang dilakukan oleh kaum Asy’ariah walaupun mereka berbeda pendapat mengenai sebagian masalah detail dan partikular.
     Menurut Abu Mansur al Maturidi, manusia itu adalah pelaku yang bebas memilih dalam arti sebenarnya. Masing-masing orang di antara kita tahu bahwa dirinya adalah bebas memilih apa yang dilakukannya; ia adalah pelaku yang paling kasib (punya kasab) banyak ayat yang menguatkan pandangan ini. Perbuatan-perbuatan manusia, walaupun merupakan kasab baginya, juga diciptakan oleh Allah. Di dalam Al-Quran juga ada ayat-ayat yang memperkuat pendapat ini dan kami telah menjelaskan contoh-contoh dari kedua macam perbuatan manusia, karena perbuatan manusia itu merupakan ‘karya bersama’ manusia dengan Tuhan, Allah yang menciptakan dan manusia yang mengkasabkanya. Semua ini tentunya merupakan pangkal dari bagi perbuatan-perbuatan ikhtiariyah, sedangkan perbuatan-perbuatan individual berasal dari Allah semata. Berdasarkan penalaran demikian, al Maturidi tidak menolak-balikan dari Mu’tazilah jika satu qudrat berkumpul pada dua maqdur, karena aspeknya berbeda, qudrah Allah mencipta sedangkan qudrah manusia meg-kasab. Menurut al Maturidi, kasab berarti kesengajaan (al Qasd) dan ikhtiar, karena kasab merupakan proses (amal) positif yang mendahului aksi, berbeda dari kasab al-Asy’ari yang semata-mata kebersamaan (musabahah) qudrat hadisah (kemampuan temporal) dengan maqdur, karena kasab di sini merupakan persoalan negatif terjadi bersama dengan aksi tidak mendahuluinya.
     Menurut al Maturidiyah, al Qasd (unsur kesengajaan) merupakan salah satu unsur penting bagi kebebasan kehendak. Al Qasd merupakan pangkal dari taklif (perintah agama), prinsip bagi pahala dan dosa, juga pujian dan celaan. “Perbuatan-perbuatan itu tergantung pada niat. Hasil yang akan diperoleh masing-masing orang tergantung pada niatnya”. Seseorang berniat melakukan perbuatan yang baik, maka Allah pun menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa melakukannya, dan berhak menerima pahala karena niatnya itu. Atau, ia berniat melakukan perbuatan yang jelek, maka Allah pun menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa melakukannya, dan ia berdosa akan niatnya itu. Sebab, al Qasd murni tetapi merupakan amal manusia. Memang al Qasd merupakan amal hati tetapi mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Perbuatan itu sendiri tidak mengkonsekuensikan pahala dan dosa, dengan bukti bahwa orang yang tidak memiliki al Qasd tidak terkena taklif seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur. Perbuatan itu sendiri baik jika dimaksudkan untuk melakukan kebaikan, sebaliknya menjadi perbuatan buruk jika dimaksudkan untuk melakukan kejelekan.
     Al Qasd harus disertai dengan kemampuan untuk berbuat, yang disebut istita’ah itu. Al-Maturidi telah merinci masalah ini dengan menjelaskan pula hakikat dan sumbernya. Menurutnya Istita’ah ada dua macam. Pertama, istita’ah Mumkinah (kemampuan yang mungkin), yang berarti keselamatan. Sebab alat dan anggota tubuh yang kesemuanya merupakan pemberian dari Allah yang berfungsi membantu seseorang untuk melakukan perbuatan. Ia harus ada sebelum seseorang melakukan perbuatan, tidak ada taklif tanpa istita’ah ini. Oleh sebab itu, seorang muslim tidak harus menunaikan ibadah haji misalnya tanpa tepenuhinya faktor sangu dan transport. Kedua, istita’ah muyassirah (kemampuan yang memudahkan), yaitu qudrah hadisah (kemampuan temporal) yang menyebabkan manusia bisa berbuat. Qudrat ini diberikan oleh Allah ketika ia berniat melakukan suatu perbuatan, karena qudrat ini bersamaan dengan aksi tetapi juga selalu baru dan setiap aksi ada qudratnya sendiri. Jadi, ada istata’ah yang mendahului perbuatan dan ada pula yang bersamaan dengan perbuatan. Dengan demikian berarti dengan satu sisi al-Maturidi mengambil dari Mu’tazilah dan dari sisi lain mengambil pendapat orang-orang Asy’ariah yang mengatakan bahwa Allah akan mentaklif perbuatan yang manusia tidak sanggup melakukannya, karena mentaklif orang yang tidak mampu (ajiz) keluar dari ketentuan hikmah. Ia mengkritik argumentasi yang mereka pergunakan untuk mendukung prinsip-prinsip itu. Ia juga mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa qudrat tidak bisa diterapkan pada dua hal yang bertentangan, dengan alasan bahawa qudrat itu merupakan kesiapan untuk berbuat atau tidak berbuat. Penggerak bagi qudrat adalah melakukan perbuatan taat karena merespon perintah Allah, atau melakukan maksud karena menyalahi perintah-Nya.
     Dapat disimpulkan tentang beberapa pandangan dari paham Maturidiyah, antara lain sebagai berikut:[18]
a.      Mengenali Allah wajib dilakukan dengan menggunakan akal, sekalipun hukum-hukumNya tidak dapat diketahui secara murni melalui akal. Pandangan ini merupakan pandangan Abu Haifah, yang mana hampir sama dengan Mu’tazilah.
b.     Pandangan Allah Maha Suci dari kesia-siaan.
c.      Allah tidak boleh ingkar janji, sebab Dia berjanji sesuai hikmah-Nya.
d.     Allah adalah pencipta segala sesuatu, namun hikmah-Nya menghendaki bahwa manusia berhak mendapatkan pahala dan siksa, setelah manusia diberi pilihan untuk memilih masing-masing.
e.      Sifat Allah disebut tidak berdiri sendiri dan tidak terpisah dengan dzat-Nya. Dalam kasus ini, pandangan Maturidiyah sama dengan Mu’tazilah.
f.      Maturidiyah berpandangan sama dengan Asy’ariyah mengenai melihat Allah di Akhirat.
g.     Orang yang berdosa besar, menurut Maturidiyah tidak akan abadi dalam neraka, sekalipun ketika meninggal dunia belum sempat bertaubat.

BAB III
3.1 Kesimpulan
     Mengenai madzhab ilmu kalam, ada perbedaan perspektif antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa perbedaan dalam pengklasifikasian ini hanya berkaitan dengan dua madzhab, yaitu madzhab politik dan akidah. Madzhab politik, antara lain seperti Syi’ah dan Khawarij, sedangkan madzhab akidah seperti Mu’tazilah, Jabariyah, dan Ahlussunnah. Perbedaan pengklasifikasian ini mjuga dapat dipahami, karena semuanya sama-sama menggunakan isu akidah sebagai upaya untuk menjustifikasi madzhab masing-masing dan menyalahkan madzhab lain.
3.2 Saran
                 Dalam pembuatan makalah ini pasti tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran dari pembaca agar dapat kami perbaiki segala kekurangan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nukman. 2002. Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Maghfur, Muhammad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan: Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam.             Bangil: Penerbit Al Izzah



[1] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerbit Bumi Aksara: Jakarta, 1995. Hlm. 45
[2] Ibid., hlm 46
[3] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia: Bandung, 2003. hlm. 182
[4] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerbit Bumi Aksara: Jakarta, 1995. Hlm. 165
[5] Ibid., hlm 161
[6] Ibid., hlm 162
[7] Ibid., hlm 163
[8] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia: Bandung, 2003, hlm.182
[9] Ibid., hlm 182-183
[10] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerbit Bumi Aksara: Jakarta, 1995. Hlm. 163
[11] Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan: Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit Al Izzah: Bangil, 2002. Hlm 38-40
[12] Drs.Rosihon Anwar,M.Ag., Op.Cit., hlm 184
[13] Nukman Abbas, Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Jakarta: Erlangga, 2002, hlm. 236
[14] Ibid., hlm 183
[15] Ibid., hlm 237-238
[16] Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan: Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit Al Izzah: Bangil, 2002. Hlm. 43-45
[17] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, hlm. 186
[18] Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan: Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit Al Izzah: Bangil, 2002. Hlm. 45-46