Efek Blog
Efek Blog
Efek Blog
Toad Jumping Up and Down

Senin, 20 Oktober 2014

Isim Tatsniyah, Jama' Mudzakkar Salim, dan Jama' Muannats Salim



ISIM TATSNIYAH
Isim mutsanna : isim yang menunjukkan arti 2 (tanpa huruf ‘athaf) sebab tambahan ا dan ن di akhirnya ketika rafa’, ي dan ن ketika nashab dan jar, serta bisa dipisahkan dan bisa di’athafkan pada lafadz yang sejenisnya. Seperti : رجلان bisa dipisahkan menjadi رجل و رجل.
Adapun lafadz-lafadz yang tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam isim tatsniyah maka dinamakan dengan .ملحق بالمثنى
Lafadz-lafadz yang disamakan dengan isim mutsanna (الملحقات بالمثنى) yaitu sebagai berikut :  
1)            اثنان , 2)  اثنتان , 3) ثنتان , 4) كلا dan كلتا dengan syarat keduanya harus dimudlofkan pada isim dlomir, 5) lafadz mutsanna yang digunakan nama orang [seperti orang yang bernama رجلان], 6) lafadz مغربان yang menjadi tatsniyahnya مغرب dan عشاء/ مغرب dan مشرق, 7) قمران untuk قمر dan شمس, 8) أسودان untuk تمر dan ماء.
v Tanda i’robnya isim tatsniyah dan yang diserupakan dengan isim tatsniyah :
1)    Rofa’           :        ـَ انِ (ا)                    رجلان
2)    Nashob        :        ـَ يْنِ (ي)         رجلَيْنِ
3)    Jer                :        ـَ يْنِ (ي)         رجلَيْنِ

JAMA’ MUDZAKKAR SALIM
Jama’ mudzakkar salim : lafadz yang menunjukkan arti lebih dari 2 tanpa huruf ‘athaf sebab tambahan huruf و dan ن di akhirnya ketika rafa’, ي dan ن ketika nashab dan jar yang bisa dipisah-pisahkan dan di’athafkan kepada lafadz sejenisnya (setelah dipisah-pisahkan). Contoh : مسلمون bisa menjadi مسلم و مسلم ومسلم.
Syarat-syarat jama’ mudzakkar salim :
Ø ‘Alam : a) Mudzakkar ‘aqil
  b) Tidak mengandung ta’ ta’nits
  c) Bukan merupakan ‘alam murokkab (tersusun)
contoh : عامر menjadi محمد , عامرون menjadi .محمدون
Ø Shifat : a) Mudzakkar ‘aqil
  b) Tidak mengandung ta’ ta’nits namun dapat kemasukan
c) Tidak mengikuti أفعل yang muannatsnya فعلاء atau فعلان yang muannatsnya فعلى .
 d) Bukan merupakan isim shifat yang hanya menetapi satu lafadz ketika menjadi shifatnya mudzakkar dan muannats,  seperti صبور dan جريح  yang mana keduanya merupakan shifat yang berlaku untuk mudzakkar dan muannats.
Lafadz yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang diberlakukan pada jama’ mudzakkar salim, seperti contoh :
Ø عليون، عشرون، عالمون (salah satu nama surga), أولوا.
Tanda i’robnya jama’ mudzakkar salim dan yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim :
1)     Rofa’         :        ـُ وْنَ (و)        مسلمون
2)    Nashob      :         ـِ يْنَ (ي)        مسلمِيْنَ
3)     Jer             :         ـِ يْنَ (ي)        مسلمِيْنَ



JAMA’ MUANNATS SALIM
Jama’ muannats salim : isim yang menunjukkan arti lebih dari 2 dengan tambahan alif dan ta’ pada akhirnya walaupun berubah dari bentuk mufrodnya, seperti :  غرفات ، بَنَاتٌdan دعدات jama dari lafadz غرفة ، بنت dan دعد.
Syarat-syarat jama’ muannats salim :
a)    Isim yang di akhirnya terdapat ta’, baik isim ‘alam atau bukan.
Yang berupa ‘alam, contoh : عائشة dijama’kan menjadi عائشات
Yang tidak berupa ‘alam, contoh : ثمرة dijama’kan menjadi  ثمرات
b)    Isim yang akhirnya berupa alif  ta’nits baik mamdudah ataupun maqshuroh yang tidak ikut wazan فعلاء yang menjadi muannatsnya أفعل (seperti contoh : صحراء dijama’kan menjadi صحروات) dan tidak ikut wazan فعلى yang menjadi muannatsnya  فعلان (seperti contoh : حبلى dijama’kan menjadi حبليات ).
c)    Isim yang menjadi nama perempuan dan tidak terdapat alamat ta’nits, contoh : هند menjadi هندات.
d)    Isim yang menjadi shifatnya isim muannats dan bersamaan dengan ta’ atau menunjukkan arti tafdhil, seperti : مسلمة menjadiمسلمات  فضلى ,menjadi .فضليات
e)    Isim mudzakkar ghoiru ‘aqil yang ditashghirدريهم ,  menjadi .دريهمات
f)     Shifat mudzakkar ghoiru ‘aqil , seperti : جبل شاهق menjadi .جبال شاهقات
g)    Mashdar fi’il yang lebih dari 3 huruf  ، (الفعل الغير الثلاثي)seperti :  إكرام ، انطلاقmenjadi .إكرامات ، انطلاقات
h)    Isim ‘ajam yang tidak diketahui jama’nya, seperti : التلغراف menjadi التلغرافات .
Lafadz yang diserupakan dengan jama’ muannats salim :
1.    Lafadz أولات yang berma’na .صاحبات
2.    Jama’ muannats salim yang dijadikan nama sesuatu seperti عرفات (nama sebuah kota di Makkah/ tempat wuqufnya jama’ah haji), أذرعات (nama sebuah kota di Syam), dll.
v Tanda i’robnya jama’ muannats salim dan lafadz yang diserupakan dengan jama’ muannats salim :
1)    Rofa’      :        ـُ        مسلماتٌ
2)    Nashob   :        ـِ        مسلماتٍ
3)    Jer           :        ـِ        مسلماتٍ
Untuk isim yang diserupakan dengan jama’ muannats salim yang dijadikan nama sesuatu, bisa dii’robi dengan 3 macam, yaitu :
a)    Tanda rofa’ dengan dlommah, nashob dan jer dengan kasroh (dengan tanwin).
b)    Tanda rofa’ dengan dlommah, nashob dan jer dengan kasroh (tanpa tanwin).
c)    Dii’robi seperti ghoiru munshorif, rofa’ dengan dlommah, nashob dan jer dengan fathah.

Rabu, 21 Mei 2014

Kajian Hermeunetik Dalam Nadzom Alfiyyah Ibnu Malik




Kitab Alfiyah ibnu Malik merupakan karangan syaikh Jamaluddin Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik al-Andalusy yang terdiri dari 1002 bait yang di dalamnya menjelaskan tentang ilmu nahwu dan shorof. Namun, selain itu, jika kitab ini dikaji secara mendalam maka akan menghasilkan ma’na sastra yang begitu indah. Syaikh Jamaluddin Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik adalah seorang tokoh yang dikagumi oleh para ilmuwan karena kecerdasan beliau dan pemikiran yang jernih. Beliau juga banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori madzhab-madzhab Andalusia yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria pada saat itu. Teori semacam ini banyak diikuti oleh para murid beliau, seperti Imam An-Nawawy, Ibnu Al-Athar, Al-Mizzi, As-Sairafi, Adz-dzahabi, dan Qadli al quddah ibnu Jama’ah. Untuk memperkuat teorinya, beliau selalu mengambil contoh (syahid) dalam teks-teks Al-Qur’an, hadits, dan syair sastrawan Arab. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini, dituangkan dalam kitab-kitab karangan beliau, baik berbentuk nadzom (syair puitis), bahkan berbentuk natsar (prosa).

















Membuka Tabir Dalam Filosofi Nadzom Alfiyah ibnu Malik 

فَارْفَعْ بِضَمٍّ وَانْصِبَنْ فَتْحًا وَجُرّ # كَسْرًاكَذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرّ
 وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ............

Alamat (tanda) i’rob ada dua macam, yaitu : alamat asli dan alamat pengganti. Adapun alamat asli ada 4, yaitu : dlommah untuk rofa’, fathah untuk nashob, kasroh untuk jer, dan sukun untuk jazm.
Ma’na tafsiri :
·        Setiap manusia pasti tidak akan pernah terlepas dari sebuah permasalahan. Dalam menyelesaikan permasalahan, kita perlu untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan musyawarah. Kemudian, dalam bermusyawarah, kita perlu menanamkan sifat keterbukaan, selanjutnya pecahkanlah permasalahan tersebut, namun jangan sekali-kali melupakan dzikrullah, karena hanya Allah lah yang Maha Memberi Petunjuk dan Maha Benar. Kemudian, terimalah hasil musyawarh tersebut dengan hati yang penuh ketenangan.
نَكِرَةٌ قَابِلُ اَلْ مُؤَثِّرَا   #   أَوْ وَاقِعٌ مَوْقِعَ مَا قَدْ ذُكِرَا
Isim itu ada dua macam, yaitu : 1. Isim nakiroh dan 2. Isim ma’rifat. Isim nakiroh adalah isim yang bisa diberi ال yang menjadikan isim tersebut ma’rifat, atau lafadznya tidak menerima ال akan tetapi searti dengan lafadz yang bisa diberi ال.
Ma’na tafsiri :
·        Dalam syair tersebut, sang pujangga Andalus menjelaskan bahwasanya kita (manusia) merupakan makhluk yang tiada bedanya antara satu dengan yang lainnya, kita tidak ada bedanya dengan hewan, jin, bahkan dengan Malaikat. Namun, sebagai manusia kita harus bersyukur, karena kita memiliki sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang bisa kita banggakan dibandingkan dengan apa yang telah dimiliki oleh Malaikat, Jin, maupun hewan. Kita (manusia) dianugerahi akal pikiran, sehingga selain dapat membedakan dirinya dengan makhluk lainya, kita juga dapat mencari cahaya kebenaran yang sejati. Karena perlu diingat bahwasannya jika manusia mampu menemukan cahaya kebenaran tersebut, maka sejatinya ia lebih mulia dari Malaikat, sebab dengan menemukan cahaya kebenaran. Hal itu merupakan sebuah pertanda bahwa manusia mampu melawan hawa nafsunya, sedangkan Malaikat tercipta dengan tanpa hawa nafsu. Maka, tak heran lagi jika mereka selalu taat beribadah. Namun, jika ia (manusia) terjerumus dalam jurang nafsu, maka ia tak jauh bedanya dengan hewan, bahkan ia lebih hina dari hewan. Sebab ia sudah diberikan akal pikiran, namun tidak ia pergunakan, sedangkan hewan tidak diberikan akal pikiran, maka tak heran jika hewan tak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.

وَغَيْرُهُ مَعْرِفَةٌ كَهُمْ وَذِى   #    وَهِنْدَ وَابْنِيْ وَالْغُلَامِ وَالَّذِي

Selain isim nakiroh,disebut sebagai isim ma’rifat, dan isim ma’rifat itu ada 6 macam, yaitu : 1. Isim dlomir, 2. Isim ‘alam, 3. Isim isyaroh, 4. Isim maushul, 5. Isim yang dima’rifatkan dengan ال , 6. Isim yang dimudlofkan pada salah satu isim ma’rifat yang telah disebutkan.
Ma’na tafsiri:
·        Syair sang pujangga Andalus tersebut, menjelaskan tentang enam tingkatan (yang disuguhkan Syekh Ibnu Malik al-Andalusy dalam sebuah kitabnya yang berjudul Alfiyah ibnu Malik) untuk menuju maqom makrifat billah, yaitu maqom tertinggi di sisi Allah.
Adapun 6 tingkatan tersebut adalah :
1.      Pertama-tama seorang salik harus mempunyai sifat seperti lafadz hum (isim dhomir), yakni si salik harus bisa menata hatinya (dhomir) terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : إنماالأعمال بالنيات.
2.     Setelah salik (pencari makrifat) mampu menata hatinya, ia kemudian harus seperti lafadz dzi (isim isyaroh), yakni ia harus membuktikan keyakinan dalam hatinya tersebut dengan isyaroh. Isyaroh terhadap Allah swt cukup dengan kita melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
3.     Setelah salik membuktikan keyakinannya yang terpatri dalam hati dengan isyaroh atau perbuatan (beribadah), maka selanjutnya yang harus ditempuh oleh salik adalah harus seperti lafadz hindun (alam asma/jenis), yaitu dalam proses menuju tingkatan berikutnya (alam asma/jenis), si salik harus mencari seorang mursyid untuk membimbingnya dalam penyerahan diri kepada Allah, karena sifat alami manusia yang mudah lupa dan melakukan kesalahan sehingga mengharuskan manusia harus mempunyai pendamping.
4.     Tingkatan ke empat yang harus dilalui salik adalah seperti lafadz ibny (isim yang dimudhofkan), yakni seorang salik harus bisa memudhofkan dan menyandarkan dirinya bahkan hatinya dengan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam setiap waktu dan setiap perbuatan.
5.     Tingkatan selanjutnya yang harus ditempuh oleh si salik dalam mencapai maqom makrifat adalah si salik harus mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding dengan orang-orang awam pada umumnya, salik harus bisa seperti lafadz al-ghulaami (al ta’rif), yakni al yang mampu memakrifatkan isim nakiroh. Keistimewaan yang harus dimiliki oleh salik tercermin dalam usaha-usaha pendekatan diri kepada Allah swt.
6.     Pada tingkatan yang terakhir ini, seorang salik harus mampu seperti lafadz al-ladzi (isim mausul), dengan kata lain salik harus mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap amal ibadahnya, pikiran dan jiwanya harus bisa terpusat pada satu titik, Allah pencipta jagad, saat ia melaksanakan segala sesuatu dalam kehidupannya, ia harus mampu wusul dengan Allah swt, merasakan kehadiran Allah dalam setiap pekerjaannya.

لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ  #  كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ

Dlomir muttashil نَا itu bisa digunakan untuk mahal rofa’, nashob, dan jer dengan menetapi satu lafadz dan arti serta tidak merubah kedudukannya sebagai dlomir muttashil. Seperti lafadz اعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاحَ “ketahuilah, sesungguhnya kita telah memperoleh anugerah yang banyak”.
Ma’na tafsiri:
·        Adapun ma’na yang terkandung didalam bait ini menunjukkan adanya sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan continue seperti dlomir (نَا) dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan yang tinggi (رفع), tengah-tengah (نَصْب), maupun dalam keadaan dibawah (جَرِّ). Sehingga, janganlah berubah dari aktifitas atau perbuatan sehari-hari, karena tak selamanya hidup itu ada di atas dan yang di bawah, tak selamanya hidup di bawah.
·        Di dalam bait ini juga mengajarkan kita agar kita bisa menjadi seperti dlomir (نَا) yaitu selalu bersikap teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh  pemikiran-pemikiran bahkan aliran-aliran  baru.

وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُنْفَصِلْ  #  إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِيْئَ اْلمُتَّصِلْ

Dalam keadaan ikhtiyar tidak boleh mendatangkan dlomir munfashil, selagi masih diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil.
Ma’na tafsiri:
·        Bait ini menjelaskan kita dianjurkan agar tidak meminta bantuan kepada selain Allah selama kita dalam keadaan yang tidak kepepet dan masih mampu untuk mengerjakannya sendiri tanpa bantuan orang lain ataupun benda-benda.

وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ  #  وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ

Apabila ada dua dlomir muttashil mahal nashob berada pada satu kalimat, maka harus mendahulukan yang lebih ma’rifat, akan tetapi bila salah satu dari dua dlomir tersebut dijadikan munfashil, maka boleh mendahulukan yang mana saja, baik yang lebih ma’rifat atau sebaliknya jika tidak ada serupa, akan tetapi jika ada serupa, maka wajib mendahulukan dlomir yang menghilangkan keserupaan.
Ma’na tafsiri:
·        Dahulukanlah orang yang lebih istimewa/yang lebih khusus dalam hati, daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang tidak kamu kenali.

وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ  #  مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ

Isim nakiroh itu tidak bisa dijadikan mubtada’, kecuali jika ada musawwigh (sesuatu yang memperbolekan).
Ma’na tafsiri:
·        Keberadaan mubtada’ itu diumpamakan sebagai seorang pemimpin yang ma’rifat (mengetahui), dan dia harus menjelaskan perkara yang menyenangkan, dia harus memiliki ilmu, dan memiliki kekuasaan, serta bisa dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh).

وَأَخْبَرُوْا بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَا  #  عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا

Para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau lebih.
Ma’na tafsiri:
·        Seperti halnya yang sudah kita ketahui bahwasannya setiap mubtada’ hanya memiliki satu khobar, tapi juga di perbolehkan mubtada’ itu memiliki lebih dari satu khobar seperti contoh محمد قَائِمٌ عَالِمٌ.
Mubtada’ pada bait ini diseumpamakan sebagaimana seorang laki-laki/sang suami. Sedangkanخبر  diseumpamakan sebagaimana seorang perempuan/istri.  Sehingga dalam bait ini juga menjelaskan bahwasannya pada umumnya laki-laki hanya punya satu orang istri, tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari satu.

لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ  #  وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ

aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut, sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong.
Ma’na tafsiri:
·        Bait ini juga bisa dibuat sebagai dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh, meskipun barisan musuh lebih banyak.

وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِي خَلَفَا  #  عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَا

Lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam I’rob apabila mudhof di buang.
Ma’na tafsiri:
·        Jika mudlof terbuang maka tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan hubungan antara seorang kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah kamu seperti seorang santri. Jangan berlagak seperti layaknya seorang kyai. Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu melakukan tradisi atau perbuatan yang telah dicontohkan oleh kyaimu dahulu.

  فَأَلِفُ التَّأْنِيْثِ مُطْلَقَا مَنَعْ  #  صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ

Alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, manakala memasukinya.
Ma’na tafsiri:
·        (أَلف) cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْثِ) itu tercegah secara mutlak, karena cinta tersebut bisa mencegah terhadap kesuksesan angan-angan.

Sumber rujukan :
Ø أوضح المسالك (terjemah Alfiyah ibnu Malik) – M. Maftuhin Sholeh Nadwi
Ø شرح ابن عقيل على الألفية
Ø دليل السالك إلى ألفية ابن مالك  - Abdullah bin Shalih al-Fawzan
Ø Dahlan Alfiyah – Ahmad Zaini Dahlan