Strukturalisme, pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia
yang terstruktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena
yang memiliki struktur yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Kodrat struktur itu akan bermakna, apabila dihubungkan dengan struktur lain.
Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehungga pemaknaan harus
diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan.
Menurut Junus,
strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra merupakan
bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekedar formalisme modern.
Memang, ada kesamaan antara strukturalisme dengan formalisme yang sama-sama
mencari arti teks itu sendiri. Ia merupakan cabang penelitian sastra yang tidak
bisa lepas dari aspek-aspek linguistik. Keutuhan makna sangat bergantung pada
koherensi keseluruhan unsur sastra. Karena masing-masing unsur memiliki
pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya
akan bermakna, jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya.
Ada tiga hal pokok
dalam strukturalisme. Pertama, gagasan keseluruhan, dalam artian bahwa
bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah
intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
Kedua, gagasan transformasi, struktur itu menyanggupi prosedur transformasi
yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan
keteraturan yang mandiri, yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk
mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan
sistem lain.
Paham
strukturalisme ini, sebenarnya menganut paham Ferdinand de Saussure yang
mengajukan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna), atau
seperti yang dikemukakan Luxemburg, signifiant-signifie dan paradigma-syntagma.
Kedua unsur ini selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan.
Karenanya, kedua unsur penting ini tidak dapat dipisahkan dalam penafsiran
karya sastra. Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa memiliki ciri: 1)
bentuk (form), dan 2) Isi (content), atau 3) makna (significance)
yang otonom. Artinya, pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra
itu sendiri.
Ide dasar
strukturalis adalah menolak kaum mimetik yang menganggap karya sastra sebagai
tiruan kenyataan, dan kaum ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai
ungkapan dan watak perasaan pengarang, dan juga menentang asumsi bahwa karya
sastra merupakan media komunikasi antara pengarang dan pembaca. Pendek kata,
strukturalisme menekankan pada otonomi penelitian sastra.
Dengan pendekatan
obyektif atau strukturalisme yang yang menekankan bahwa karya sastra adalah
otonom, maka kita dituntut untuk menganalisis secara linguistik arti dan maksud
arti dari masing-masing kata yang membangun syair tersebut. Kemudian, kita
mengaitkan antara maksud kata yang satu dengan yang lainnya. Sebab, dengan
mengikuti model pendekatan ini belum tentu sebuah kata bisa dipahami dan
dimengerti secara leksikal, terkadang makna itu menghendaki makna lain karena
ada kesesuaian dengan kata makna lain.
Sumber: Pengantar Teori Sastra Arab
Oleh : Dr. H. Akhmad Muzakki, M.A
Hal : 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar