Efek Blog
Efek Blog
Efek Blog
Toad Jumping Up and Down

Minggu, 18 Mei 2014

Ushul Fiqih





SYARAT MUFTI/MUJTAHID
Mufti adalah seorang ahli fiqih yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak. Seseorang bisa mencapai tingkatan sebagai mujtahid mutlak, yang memiliki kewenangan untuk menggali hukum secara langsung dari sumber-sumbernya, apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a)     Harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukum-hukum fiqih. Karena tugas seorang mujtahid adalah menggali hukum dengan berdasarkan ayat-ayat dan hadits ahkam yang diketahuinya, meskipun tidak sampai hafal.
b)    Harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang fiqih yang mencakup : kaidah-kaidah dasar fiqih, masalah-masalah furu’iyah, seluk-beluk madzhab-madzhab fiqih, dan sekaligus khilafiyyah-khilafiyyahnya. Di antara faedah dari mengetahui khilafiyyah para ulama’ adalah agar seorang mujtahid tidak memunculkan pendapat baru yang berseberangan dengan ijma’ para ulama’.
Adapun kaidah-kaidah fiqih dalam madzhab asy-Syafi’i menurut al Qodli Husain, secara garis besar teringkas dalam empat kaidah :
1)    اليقين لايزال بالشك : Perkara yang diyakini tidak bisa hilang dengan sebab keraguan.
Contoh : Seseorang setelah melakukan wudlu, kemudian dia ragu-ragu apakah telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudlunya? Maka wudlunya tidak menjadi rusak dengan sebab keraguan yang menyelimuti hatinya. 
2)    المشقة تجلب التيسير : Kondisi yang sulit akan menetapkan kemudahan.
Contoh : diperbolehkan melakukan tayammum jika dia dalam kondisi sakit atau tidak menemukan air, diperbolehkan menjama’ dan menqoshor sholat dalam keadaan bepergian.
3)    الضرار يزال : sesuatu yang merugikan harus dihindari.
Contoh : Ketika membeli suatu barang, dan ternyata terdapat kecacatan, maka barang tersebut boleh dikembalikan (akad jual belinya diurungkan).
4)    العادة محكمة : Kebiasaan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menetapkan hukum.
Contoh : Dalam menetapkan lamanya masa haidl, nifas, suci, dll. Semua itu didasarkan pada kebiasaan yang dialami oleh para wanita pada umumnya.
Kemudian sebagian ulama’ melengkapi empat kaidah tersebut dengan menambahkan satu kaidah lagi, yaitu :
الأمور بمقاصدها : Segala perkara itu tergantung pada tujuannya.
Contoh : wudlu, sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya bisa dihukumi sah bila disertai dengan niat.
                   Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam mengembalikan semua permasalahan fiqih dalam satu kaidah, yaitu :
جلب المصالح ودرء المفاسد
“Mendatangkan segala macam kemaslahatan dan menghindari segala macam kerusakan”
c)     Harus menguasai ilmu alat dengan penguasaan yang sedang-sedang saja. Misalnya, dalam penguasaan ilmu nahwu tidak harus seperti imam Syibawaih atau Ibnu Malik, yang penting adalah bisa membedakan antara susunan yang benar dan yang salah..dsb.
Ilmu alat di sini mencakup :
1.     Ushul fiqih yang berfungsi untuk mengetahui teori-teori penggalian hukum secara langsung dari dalil-dalilnya.
2.     Ilmu adab yang terdiri dari sebelas cabang ilmu, antara lain : Nahwu, I’rob, Shorof, Tashrif, Lughot, Balaghoh, Ma’ani, Bayan, dsb. Karena syari’at Islam bersumberkan dari al-Qur’an dan Hadits yang menggunakan bahasa Arab.
Sementara itu, dilalah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil berbahasa Arab, tidak akan bisa ditangkap dengan sempurna kecuali dengan memahami susunan kalam Arab. Dalam hal ini seorang mujtahid dituntut untuk menggunakan ilu alat berupa ilmu Nahwu. Selain itu, seorang mujtahid harus tahu arti dari masing-masing mufrodat. Dalam hal ini seorang mujtahid dituntut untuk menggunakan ilmu alat berupa ilmu lughot dan tashrif. Dan hanya menggunakan ilmu nahwu dan lughot, seorang mujtahid bisa membedakan antara lafadz yang ‘am dan khosh, antara lafadz muqoyyad dan mutlak, antara lafadz yang menggunakan ma’na haqiqoh dan menggunakan ma’na majaz, dsb. Ilmu balaghoh, ma’ani dan bayan juga merupakan disiplin ilmu yang sangat dibutuhkan oleh seorang mujtahid, karena al Qur’an dan Hadits yang menjadi sumber ijtihadnya, selalu menggunakan bahasa yang mengandung sastra yang sangat tinggi, tidak seperti bahasa percakapan biasa.
d)    Harus menguasai ilmu tafsir. Sebab dengan menguasai ilmu tafsir seorang mujtahid bisa melacak keberadaan ayat-ayat yang digunakan sebagai dasar di dalam menggali hukum fiqih.
e)     Harus mengetahui ahwal (keadaan) dari para perowi hadits, agar seorang mujtahid bisa membedakan antara hadits yang bisa diterima (maqbul) dan hadits yang ditolak (mardud).
f)      Harus mengetahui nasikh-mansukh. Karena apabila seorang mujtahid tidak mengetahui dalil-dalil yang sudah di mansukh/dihapus, dikhawatirkan akan menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya sudah tidak terpakai lagi.
g)     Harus mengetahui asbabun nuzul (sebab-musabab diturunkannya sebuah ayat), agar seorang mujtahid bisa mengetahui motifasi (al-baits) yang terkandung dalam ayat-ayat yang akan digunakannya untuk mencetuskan sebuah hukum.
h)    Harus mengetahui masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ para ulama’. Sehingga tidak akan terjadi seorang mujtahid merusak kesepakatan para ulama’ terdahulu. Karena menentang hukum yang telah disepakati oleh para ulama’ itu hukumnya haram.
i)       Harus sudah baligh dan berakal. Menurut qoul ashoh, dzukuroh (berjenis kelamin laki-laki), hurriyyah (merdeka), dan ‘adalah (bersikap adil) tidak menjadi persyaratan bagi seorang mujtahid. Dengan demikian, sah-sah saja bila seorang wanita, budak dan orang yang fasiq melakukan ijtihad.
Sumber rujukan:
Ø Kitab An-Nafahaat
Ø Kitab Lathooif al-Isyaarot

Tidak ada komentar: