MAKALAH
NADHARIYAT AL-ADAB I
PUISI, HAKIKAT, DAN METODENYA
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Helmi Syaifuddin, M.Fil.I
Disusun oleh:
Tengku
Muhammad Al-Faisal (13310131)
Itsna
Arinal Haq (13310086)
Fais
Fatayani (13310077)
Syaidatu
Alfi Nur Faizah (13310053)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
KATA PENGANTAR
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور
الدنيا والدين. والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما
بعد...
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas izin dan kehendak-Nya makalah
sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga, dan seluruh
sahabatnya.
Penulisan dan
pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Nadhariyat
Al-Adab I. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai “Hakikat dan
Metode puisi”.
Dalam penulisan
makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya ilmu
pengetahuan kami mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing kami
yang telah memberikan limpahan ilmu kepada kami.
Kami menyadari
akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha
semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih
maksimal.
Harapan kami,
makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dalam
mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini berguna bagi
siapapun yang membacanya.
Malang, 21 Nopember 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya sastra pada
dasarnya merupakan ungkapan penulis terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang
menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh
sebab itu, karya sastra pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang
melingkupi dalam kehidupan manusia.
Setiap orang
memiliki cara yang seringkali berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau
permikirannya terhadap realitas yang ada di sekitar dan yang kita temui. Karya
sastra juga merupakan hasil proses kreatif seorang sastrawan. Pada proses
kreatif tersebut, tidak semata-mata hanya membutuhkan sebuah keterampilan, akan
tetapi aspek pengalaman hidup, intelektual, wawasan keilmuan terutama
kesusastraan, juga kejujuran sangat dibutuhkan dalam pembuatan karya sastra.
Karya sastra yang
perkembangannya sangat pesat adalah puisi. Jika melihat hakikat dari puisi,
yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa
yang padat, mendobrak dan penuh dengan makna. Puisi dibentuk oleh kata-kata
yang benar-benar terpilih, terseleksi dan melalui proses yang ketat. Puisi
merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata
atau bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili perasaannya.
Pada awalnya
istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti
pembangun, pembentuk, pembuat. Selanjutnya, makna kata tersebut menyempit
menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu
dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan.
Menurut zamannya
puisi dibedakan menjadi 2, yaitu : puisi lama dan puisi baru. Puisi lama
merupakan puisi yang terkait oleh aturan-aturan, puisi baru adalah puisi yang
tidak terkait oleh aturan, artinya Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada
puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima .
Melalui puisi,
seseorang dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berpikir, merenung, terharu
bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan
digemari oleh semua lapisan masyarakat karena keindahan dan keunikannya. Oleh
karena kemajuan masyarakat dari masa kemasa selalu meningkat, maka corak, sifat
dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan konsep estetika yang
selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
definisi puisi?
2.
Apa
saja unsur-unsur puisi?
3.
Apa
sajakah ragam dan jenis-jenis puisi?
4.
Bagaimana
teknik pembuatan puisi?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
makna puisi
2.
Memahami
unsur-unsur puisi
3.
Mengetahui
berbagai ragam dan jenis-jenis puisi
4.
Mengetahui
dan memahami teknik pembuatan puisi
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PUISI
Secara etimologis,
kata puisi dalam bahasa Arab disebutkan dengan lafadz شعور شعر-yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengkomposisi,
atau mengubah sebuah puisi. Bagi orang Arab, kata شعر memiliki arti tersendiri sesuai dengan
pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Pendapat ini ada kemiripan dengan
pengertian poet dalam bahasa Yunani, yang berarti membuat, mencipta
(dalam bahasa Inggris padanan kata poetry erat berhubungan dengan kata poet
dan poem). Poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang
yang hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah
orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus seorang filsuf
negarawan, guru, dan orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.[1]
Kata puisi juga
berasal dari bahasa Yunani yaitu Poeima yang berarti membuat, Poeisis yang
berarti pembuatan. Dalam bahasa Inggis disebut Poem atau Poetry. Puisi
diartikan membuat dan pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah
menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran
suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Dari beberapa
definisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puisi
adalah ungkapan hati penyair dari keseluruhan pengalaman hidup yang menggunakan
bahasa yang khas dalam penyajiannya. Puisi lahir dari perenungan mendalam
dengan menggunakan kolaborasi antara pikiran dan perasaan sehingga menghasilkan
karya yang sarat makna.
Sebuah ungkapan
dapat dikategorikan kepada karya sastra genre syair (puisi) apabila
ungkapan tersebut memenuhi 6 kriteria, yaitu :1) bahasa, 2) gagasan, 3) irama,
4) sajak, 5) imajinasi, dan 6) kesengajaan. [2]
Bahasa jelas tidak
dapat dilepaskan dari sebuah karya sastra, karena bahasa merupakan media utama
dalam sebuah karya sastra. Tentu saja terdapat perbedaan yang khas antara bahasa
sebagai media sastra dengan bahasa sebagai media komunikasi yang lain. Bahasa
sastra memang memiliki kekhasan sendiri. Semua orang mengakui bahwa justru
kekhasan tersebut merupakan kekuatan karya sastra yang diciptakan oleh
pengarang. Penonjolan kekhasan bahasa, akan tampak jelas apabila kita menelaah
karya sastra dalam bentuk puisi. Penyimpangan pemakaian bahasa sering kita
dapati, karena pemakaian bahasa dalam karya puisi banyak yang bersifat
konotatif, abstrak (tersirat), imajinatif, dan inkonvensional yang secara lahir
seringkali sulit dimengerti. Dalam kajian sosiologi bahasa mungkin ini yang
dikatakan sebagai ulah para penyair yang sering melawan konvensi bahasa, sedang
pada kutub yang lain memiliki kelonggaran untuk menentangnya.
Walaupun dalam
penentangan ini ada keterikatan-keterikatan dan penyimpangan-penyimpangan,
namun pada akhirnya seringkali menjadi aturan, atau linguistic code. Sehingga
mereka dapat memeras, melumatkan dan membentuk bahasa itu sesuka hatinya untuk
menunjukkan haru yang ditimbulkan dalam sanubarinya. Mereka juga lebih tahu
akan sifat-sifat bahasanya, dan lebih bisa mengeksploitasikan sifat-sifat
fonetis, morfologis, dan sintaksis guna memenuhi satu tujuan, yaitu
mengejawantahkan haru yang dialaminya. Penyimpangan ini merupakan penyimpangan
sosial (masyarakat penyair), bukan perorangan. Dalam kajian sastra,
penyimpangan ini disebut licentia poetica, yaitu suatu kebebasan
penyair.[3]
Adanya ketegangan
antara konvensi dan kreasi memang seringkali membuat pembaca menjadi terkejut.
Banyak hal-hal yang bersifat inkonvensional muncul. Penyimpangan konvensi
tersebut memang sangat dirasakan apabila pembaca memiliki latar belakang pada
konvensi yang sudah ada. Walaupun pengarang sastra modern banyak melakukan
penyimpangan dari konvensi yang telah ada, namun pada kenyataannya mereka tidak
dapat melepaskan diri secara total dari konvensi sastra.
Secara general
konvensi sastra dapat dilihat melalui penanda-penanda berikut, diantaranya:
1.
Bahasa
yang dipakai selalu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan pendar
keindahan.
2.
Karya
sastra bersifat imajinatif/fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat
dari khayal kreatif. Ia bersifat intuitif yang mengutamakan fktor rasa.
3.
Bahasa
sastra bersifat konotatif dan multi-interpreteble. Ini punya banyak makna dan
ditafsirkan melalui berbagai macam aspek dan dimensi.
4.
Bahasa
sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif. Yakni
mengungkapkan sesuatu dengan kiasan. Penggunaan bahasa kias dalam karya sastra
bukan berarti pengarang sengaja membuat pembaca bingung, tetapi justru lebih
mendorong pembaca berpikir kreatif. Bahasa kias juga mencerminkan kehalusan
perasaan pengarang dan daya asosiatifnya yang tinggi.
5.
Bahasa
sastra bersifat sublim dan etis. Bahasa yang dipakai merupakan suatu usaha
penghalusan dari hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam sastra dikenal istilah
distansi estetika, yaitu keindahan sebagai perentang jarak antara ungkapan
keseharian dengan ungkapan literer.
6.
Karya
sastra tertentu merupakan suatu katarsis, yaitu suatu upaya bersih diri dari
lengketan debu-debu, lepotan lumpur dan kehidupan dunia. Dalam terminologi
islam, ia sering disebut dengan amar ma’ruf, suatu ajakan berbuat baik.
Walaupun begitu, ungkapan sastra tidak bersifat doktriner, atau menggurui.
Ajaran moral yang diungkapkan dalam karya sastra begitu halusnya, karena disampaikan
dalam bentuk kias dan perlambang, bukan tembak langsung.[4]
Kriteria pada masalah bahasa hanya
didasarkan pada situasi bahasa yang menunjukkan perbedaan sikap. Kriteria
tersebut secara garis besar jelas tidak lepas dari batasan janis sastra yang diungkapkan
oleh Aristoteles. Namun secara skematik, jenis sastra yang didasarkan pada
situasi bahasa oleh Van Luxemburg diklasifikasikan menjadi tiga:
1) monolog, 2)
dialog, dan 3) percangkokan. Apa yang dikemukakan Van Luxemburg tersebut
menunjukkan bahwa situasi bahasa yang terdapat dalam suatu jenis sastra
bergantung sepenuhnya pada kelompok jenis sastra bersangkutan. Dalam hal ini,
bahasa dibedakan berdasarkan pemakaiannya. Bentuk monolog misalnya, hanya
dipakai dalam bentuk puisi, sedangkan pemakaian bahasa yang mewakili berbagai
karakter digolongkan dalam cerpen, novel, maupun drama. Dengan demikian, dapat
disebutkan bahwa kecirikhasan pemakaian bahasa ini akhirnya membedakan jenis
karya sastra.[5]
Gagasan atau ide merupakan unsur
batin sebuah puisi. Para kritikus sastra menamakan gagasan ini dengan istilah
fakta. Dikatakan fakta, karena puisi mengandung peristiwa atau kejadian yang
benar-benar ada dan harus diterima sebagai kenyataan, karena itu benar-benar
dijumpai dalam kehidupan nyata.[6]
Fakta memiliki kaitan erat dengan pikiran yang kemudian si penyair mengemasnya
dalam bentuk gubahan puisi. Dengan demikian, sebuah puisi dengan tema apapun
merupakan ungkapan dari sebuah realita yang ditulis dengan beragam tujuan.
Sekalipun puisi merupakan karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur
imajinasi, tapi pada kenyataannya ia tidak terlepas dari fenomena yang ada.
Artinya, puisi mengandung nilai kebenaran, bukan kebohongan semata.
Irama atau musikalitas merupakan
pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait dari bait-bait sebuah puisi.
Unsur ini terlihat pada penyusunan bunyi kata dan kalimat, dan bisa terjadi
secara lahir maupun maknawi. Tanpa pola irama, karya sastra yang berbentuk
puisi tidak dapat dibedakan dengan prosa.
Imajinasi adalah daya bayang, daya
fantasi, tetapi bukanlah lamunan. Ia tetap berpangkal dari kenyataan-kenyataan
dan pengalaman-pengalaman. Imajinasi tidaklah sama dengan realitas yang
sesungguhnya (realitas obyektif). Ia bersifat intuitif yang mengutamakan faktor rasa. Imajinasi
merupakan wilayah khusus, daerah otonom, yang tidak perlu dicocok-cocokkan
dengan kenyataan. Walaupun bersifat imajinatif, ia tidak harus irrasional.[7]
B. UNSUR-UNSUR PUISI
Secara
sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur. Adapun secara
lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu: 1) deep
structure (Struktur batin) dan 2) surface structure (struktur fisik).
Struktur luar puisi berkaitan dengan bentuk, yang terdiri dari pilihan kata (diksi),
struktur bunyi, penempatan kata dalam kalimat, penyusunan kalimat, penyusunan
bait, dan tipografi (irama). Sedangkan unsur dalam berkaitan dengan isi,
tema, pesan atau makna yang tersirat di balik struktur luar.[8]
a) Hakikat
Puisi
Hakikat puisi atau sering
pula disebut struktur batin puisi, meliputi
hal-hal sebagai berikut:
(a) Tema/makna
(sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.
(b) Rasa (feeling), yaitu
sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(c) Nada (tone), yaitu sikap penyair
terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat
menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca
untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.[9]
(d) Amanat/tujuan/maksud (itention);
sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan
tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat
ditemui dalam puisinya.
b)
Metode Puisi
Sedangkan metode puisi, atau terkadang disebut pula struktur fisik puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair
untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal
sebagai berikut:
(a) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu
bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri,
pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(b) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair
dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat
mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(c) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair.
(d) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera
yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau
lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan
hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat
kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(e) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias
yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu .
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan
banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa
figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora,
simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora,
pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto,
totem pro parte, hingga paradoks.[10]
(f) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima
adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan
efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi,
asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh,
sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya, dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
C. RAGAM DAN JENIS PUISI
Syair memiliki kedudukan yang cukup penting di tengah
bangsa Arab. Menurut mereka fashohah atau kefasihan seseorang dalam
berbahasa adalah sebuah kebanggaan. Sehingga tidak heran bila pada zaman
jahiliyah orang-orang gurun ini saling berlomba-lomba menunjukkan kepiawayannya
dalam mencipta dan melantunkan puisi. Walaupun demikian, sebenarnya puisi bukan
hanya persoalan adu kefasihan. Masih banyak tujuan-tujuan lain yang mendorong
para penyair untuk menciptakan sebuah puisi. Sehingga bila dikualifikasikan,
puisi akan terpecah menjadi beberapa bagian berikut:
aa) Berdasarkan Kegunaan atau Tujuannya
1. Al Madh
Yaitu sebuah puisi yang
dibuat untuk memuji. Di dalamnya memuat perkataan-perkataan yang mengandung
pujian kepada seseorang.
2. Al Hijaa’
Ini merupakan kebalikan
dari Al Madh. Di dalam jenis ini banyak disebutkan keburukan-keburukan
seseorang yang menjadi sasaran puisi tersebut.
3. Al Fakhr
Al fakhr artinya
kebanggaan, yaitu jenis puisi yang di dalamnya dimuat perkataan-perkataan baik
yang memuji dirinya sendiri atau kabilahnya.
4. Al Hamasah
Merupakan puisi yang
dibuat guna mengangkat semangat juang pada diri seseorang. Biasanya dalam jenis
ini, seorang penyair akan menyebutkan kepahlawanan dan keberanian diri sendiri
maupun kaumnya.
5. Al Ghozal
Merupakan puisi cinta.
Didalamnya banyak disebutkan ungkapan-ungkapan cinta berupa kecantikan seorang
wanita, pertemuan dengan sang kekasih, atau bahkan perpisahan yang amat
menyakitkan.
6. Al I’tidzar
Merupakan jenis puisi yang
berisikan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah penyair lakukan.
7. Al Ritsa’
Merupakan puisi yang
dilantunkan dengan tujuan berkabung. Bentuknya bisa dengan menyebutkan
kebaikan-kebaikan mayit, ungkapan kehilangan, do’a maupun nasihat untuk orang
yang ditinggalkan.
8. Al Hikmah
Merupakan puisi yang berisi ungkapan-ungkapan penuh hikmah dan petuah.
9. Al Washfu
Merupakan sebuah puisi yang memuat deskripsi sebuah tempat maupun benda
yang dilihat penyair di alam nyata maupun khayalan.
. Ad Da’wah
Kedatangan Islam membawa
pengaruh yang cukup besar pada dunia sastra Arab. Salah satunya adalah dengan
munculnya jenis puisi baru yang dibuat dengan tujuanmenyebar luaskan da’wah
Islam dengan kemasan yang indah dan menarik.[11]
bb) Berdasarkan Sudut Pandang Penulis
Ada bermacam-macam jenis puisi yang ditulis para penyair. Karya sastra tidak
bersifat otonom. Dalam memahami makna karya sastra, kita mengacu pada beberapa
hal yang erat hubungannya dengan puisi tersebut. Dalam pemahaman puisi, hal
yang dipandang erat hubungannya adalah jenis puisi itu sendiri dan sudut
pandang penyair. Sebenarnya ada banyak sekali macam-macam puisi, dan bagaimana
penyair dalam menyampaikan inspirasinya, serta bagaimana menafsirkan makna
puisi dengan mudah. Sehingga mudah mengklasifikasikan, termasuk jenis puisi
apakah yang kita ciptakan.
D. Teknik
Pembuatan Puisi
Sampai saat ini, berjuta puisi telah dituliskan, baik yang
dipublikasikan di buku, di koran, di internet, maupun yang masih tetap
mengendap di tangan penulis atau bahkan sudah hilang, entah ke mana rimbanya.
Berbagai ragam tema bahasan juga pernah diungkapkan lewat
puisi, mulai dari kehidupan sehari-hari, budaya, sains, politik dan tentu saja
tentang cinta yang banyak sekali ditemukan, khususnya puisi yang dituliskan
oleh kaum remaja.
Tentu, puisi-puisi ini dilahirkan dari berbagai macam proses kelahiran.
Sebenarnya, jika dicermati, menurut pengalaman, puisi itu merupakan ungkapan
kata bermakna yang dihasilkan dari berbagai macam proses kelahiran
masing-masing.
Proses kelahiran ini ada beberapa tahap, antara lain :
a) Tahap mengungkapkan fakta diri
Puisi pada tahap ini, biasanya lahir berdasarkan observasi pada sekitar
diri sendiri, terutama pada faktor fisik. Misalnya pada saat berkaca.
b) Tahap mengungkapkan rasa diri
Pada tahap ini akan lahir puisi yang mampu mengungkapkan rasa atau perasaan
diri sendiri atas obyek yang bersinggungan atau berinteraksi. Perasaan yang
terungkap bisa berupa sedih, senang, benci, cinta, patah hati, dan lain-lain,
misalnya tatkala melihat meja, akan bisa lahir sebuah puisi
c) Tahap mengungkapkan fakta obyek lain
Pada tahap ini puisi dilahirkan berdasarkan fakta-fakta
di luar diri dan dituliskan begitu saja apa adanya, tanpa tambahan kata
bersayap atau metafora, misalnya tatkala melihat meja, kemudian muncul gagasan
untuk menulis puisi.
d) Tahap mengungkapkan rasa obyek lain
Pada tahap ini penulis puisi mencoba berusaha
mengungkapkan perasaan suatu obyek, baik perasaan orang lain maupun benda-benda
di sekitarnya yang seolah-olah menjelma menjadi manusia. Misalnya tatkala melihat orang muda bersandar di
bawah pohon rindang, dapat sebuah terlahir puisi.
e) Tahap mengungkapkan kehadiran yang belum hadir
Pada tahap ini puisi sudah merupakan hasil kristalisasi yang sangat
mendalam atas segala fakta, rasa dan analisa menuju jangkauan yang bersifat
lintas ruang dan waktu, menuju kejadian di masa depan. Mengungkapkan kehadiran yang belum hadir artinya melalui media puisi, puisi dipandang
mampu untuk menyampaikan gagasan dalam menghadirkan yang belum hadir, yaitu
sesuatu hal yang pengungkapannya hanya bisa melalui puisi, tidak dengan yang
lain. Misalnya cita-cita anak manusia, budaya dan gaya hidup masyarakat di masa
depan, dan lain-lain. Salah satu contoh yang menarik adalah lahirnya puisi
paling tegas dari para pemuda Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta,
atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), dalam Sumpah
Pemuda.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan puisi adalah ungkapan hati
penyair dari keseluruhan pengalaman hidup yang menggunakan bahasa yang khas
dalam penyajiannya. Puisi lahir dari perenungan mendalam dengan menggunakan
kolaborasi antara pikiran dan perasaan sehingga menghasilkan karya yang sarat
makna.
Unsur pembentuk dalam puisi terbagi menjadi dua unsur
yaitu unsur fisik dan unsur batin puisi. Unsur fisik puisi terdiri dari; diksi,
pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, versifikasi dan tata
wajah atau tipografi sedangkan unsur batin puisi terdari dari; tema, perasaan,
nada dan suasana, amanat.
Terdapat beberapa
cara untuk mendalami dan memaknai sebuah puisi, Roland Barthes mengungkapkan
lima kode bahasa yaitu; kode hermeneutik, proairetik, semantik, simbolik dan
budaya sedangkan menurut Riffaterre terdapat tiga cara untuk mendalami puisi
yaitu; mengetahui penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti dari
puisi.
[1] Akhmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab (Malang:
UIN-Maliki Press, 2011)
[2] Ibid., 43.
[3] Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga,
1994) Hal. 24
[4] Zainuddin Fananie, Telaah Sastra (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001) Hal. 44
[5] Ibid., 8.
[6] Syamsir Arifin, Kamus Sastra Indonesia (Padang:
Angkasa Raya, 1991) Hal. 44
[7] Rahdar Panca Dahana, Kebenaran dan Dusta Dalam
Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2001) Hal. 25
[8] Akhmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab
(Malang: UIN-Maliki Press, 2011)
Hal. 51-53
[9] Masnur
Muslich, Fonologi Bahasa Indonesia
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008) Hal. 112
[10] J.W.M.
Verhaar , Asas-asas Linguistik Umum (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1979) Hal.
123
[11] www.arabiyana.net/2014/08/mengenal-jenis-jenis-syair-arab-sesuai_16.html?m=1 pada: Jum’at, 18 Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsir. 1991. Kamus Sastra Indonesia. Padang:
Angkasa Raya.
Dahana, Rahdar Panca. 2001. Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra.
Magelang: Indonesia Tera.
Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Muzakki, Akhmad.2011. Pengantar Teori Sastra Arab.
Malang: UIN-Maliki Press.
Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Sugono, Dendy. 1990. Buku Praktis
Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugono, Dendy. 2011. Buku Praktis Bahasa
Indonesia 2. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Verhaar, J.W.M. 1979. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar