SYARAT MUFTI/MUJTAHID
Mufti adalah seorang ahli
fiqih yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak. Seseorang
bisa mencapai tingkatan sebagai mujtahid mutlak, yang memiliki kewenangan untuk
menggali hukum secara langsung dari sumber-sumbernya, apabila memenuhi
syarat-syarat berikut:
a) Harus mengetahui ayat-ayat dan
hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukum-hukum fiqih. Karena tugas seorang
mujtahid adalah menggali hukum dengan berdasarkan ayat-ayat dan hadits ahkam
yang diketahuinya, meskipun tidak sampai hafal.
b) Harus mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang fiqih yang mencakup : kaidah-kaidah dasar fiqih,
masalah-masalah furu’iyah, seluk-beluk madzhab-madzhab fiqih, dan sekaligus
khilafiyyah-khilafiyyahnya. Di antara faedah dari mengetahui khilafiyyah para
ulama’ adalah agar seorang mujtahid tidak memunculkan pendapat baru yang
berseberangan dengan ijma’ para ulama’.
Adapun
kaidah-kaidah fiqih dalam madzhab asy-Syafi’i menurut al Qodli Husain, secara
garis besar teringkas dalam empat kaidah :
1) اليقين لايزال
بالشك : Perkara yang
diyakini tidak bisa hilang dengan sebab keraguan.
Contoh :
Seseorang setelah melakukan wudlu, kemudian dia ragu-ragu apakah telah terjadi
sesuatu yang membatalkan wudlunya? Maka wudlunya tidak menjadi rusak dengan
sebab keraguan yang menyelimuti hatinya.
2) المشقة تجلب
التيسير : Kondisi yang
sulit akan menetapkan kemudahan.
Contoh :
diperbolehkan melakukan tayammum jika dia dalam kondisi sakit atau tidak
menemukan air, diperbolehkan menjama’ dan menqoshor sholat dalam keadaan
bepergian.
3) الضرار يزال : sesuatu yang merugikan harus dihindari.
Contoh :
Ketika membeli suatu barang, dan ternyata terdapat kecacatan, maka barang
tersebut boleh dikembalikan (akad jual belinya diurungkan).
4) العادة محكمة : Kebiasaan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menetapkan
hukum.
Contoh : Dalam
menetapkan lamanya masa haidl, nifas, suci, dll. Semua itu didasarkan pada
kebiasaan yang dialami oleh para wanita pada umumnya.
Kemudian
sebagian ulama’ melengkapi empat kaidah tersebut dengan menambahkan satu kaidah
lagi, yaitu :
الأمور
بمقاصدها : Segala perkara itu tergantung pada
tujuannya.
Contoh : wudlu, sholat,
puasa, dan ibadah-ibadah lainnya bisa dihukumi sah bila disertai dengan niat.
Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam mengembalikan semua
permasalahan fiqih dalam satu kaidah, yaitu :
جلب
المصالح ودرء المفاسد
“Mendatangkan segala macam
kemaslahatan dan menghindari segala macam kerusakan”
c)
Harus menguasai ilmu alat dengan penguasaan
yang sedang-sedang saja. Misalnya, dalam penguasaan ilmu nahwu tidak harus
seperti imam Syibawaih atau Ibnu Malik, yang penting adalah bisa membedakan
antara susunan yang benar dan yang salah..dsb.
Ilmu alat di sini
mencakup :
1.
Ushul fiqih yang berfungsi untuk
mengetahui teori-teori penggalian hukum secara langsung dari dalil-dalilnya.
2.
Ilmu adab yang terdiri dari sebelas
cabang ilmu, antara lain : Nahwu, I’rob, Shorof, Tashrif, Lughot, Balaghoh,
Ma’ani, Bayan, dsb. Karena syari’at Islam bersumberkan dari al-Qur’an dan
Hadits yang menggunakan bahasa Arab.
Sementara itu, dilalah
yang ditunjukkan oleh dalil-dalil berbahasa Arab, tidak akan bisa ditangkap
dengan sempurna kecuali dengan memahami susunan kalam Arab. Dalam hal ini
seorang mujtahid dituntut untuk menggunakan ilu alat berupa ilmu Nahwu. Selain
itu, seorang mujtahid harus tahu arti dari masing-masing mufrodat. Dalam hal
ini seorang mujtahid dituntut untuk menggunakan ilmu alat berupa ilmu lughot
dan tashrif. Dan hanya menggunakan ilmu nahwu dan lughot, seorang mujtahid bisa
membedakan antara lafadz yang ‘am dan khosh, antara lafadz muqoyyad dan mutlak,
antara lafadz yang menggunakan ma’na haqiqoh dan menggunakan ma’na majaz, dsb.
Ilmu balaghoh, ma’ani dan bayan juga merupakan disiplin ilmu yang sangat
dibutuhkan oleh seorang mujtahid, karena al Qur’an dan Hadits yang menjadi
sumber ijtihadnya, selalu menggunakan bahasa yang mengandung sastra yang sangat
tinggi, tidak seperti bahasa percakapan biasa.
d)
Harus menguasai ilmu tafsir. Sebab
dengan menguasai ilmu tafsir seorang mujtahid bisa melacak keberadaan ayat-ayat
yang digunakan sebagai dasar di dalam menggali hukum fiqih.
e)
Harus mengetahui ahwal (keadaan) dari
para perowi hadits, agar seorang mujtahid bisa membedakan antara hadits yang
bisa diterima (maqbul) dan hadits yang ditolak (mardud).
f)
Harus mengetahui nasikh-mansukh.
Karena apabila seorang mujtahid tidak mengetahui dalil-dalil yang sudah di
mansukh/dihapus, dikhawatirkan akan menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya
sudah tidak terpakai lagi.
g)
Harus mengetahui asbabun nuzul
(sebab-musabab diturunkannya sebuah ayat), agar seorang mujtahid bisa
mengetahui motifasi (al-baits) yang terkandung dalam ayat-ayat yang akan
digunakannya untuk mencetuskan sebuah hukum.
h)
Harus mengetahui masalah-masalah yang
sudah menjadi ijma’ para ulama’. Sehingga tidak akan terjadi seorang mujtahid merusak
kesepakatan para ulama’ terdahulu. Karena menentang hukum yang telah disepakati
oleh para ulama’ itu hukumnya haram.
i)
Harus sudah baligh dan berakal.
Menurut qoul ashoh, dzukuroh (berjenis kelamin laki-laki), hurriyyah (merdeka),
dan ‘adalah (bersikap adil) tidak menjadi persyaratan bagi seorang mujtahid.
Dengan demikian, sah-sah saja bila seorang wanita, budak dan orang yang fasiq
melakukan ijtihad.
Sumber rujukan:
Ø Kitab An-Nafahaat
Ø Kitab Lathooif
al-Isyaarot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar