Kitab Alfiyah ibnu Malik merupakan
karangan syaikh Jamaluddin Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik al-Andalusy yang
terdiri dari 1002 bait yang di dalamnya menjelaskan tentang ilmu nahwu dan
shorof. Namun, selain itu, jika kitab ini dikaji secara mendalam maka akan
menghasilkan ma’na sastra yang begitu indah. Syaikh Jamaluddin Muhammad bin ‘Abdullah
bin Malik adalah seorang tokoh yang dikagumi oleh para ilmuwan karena
kecerdasan beliau dan pemikiran yang jernih. Beliau juga banyak menampilkan
teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori madzhab-madzhab Andalusia yang
jarang diketahui oleh orang-orang Syiria pada saat itu. Teori semacam ini
banyak diikuti oleh para murid beliau, seperti Imam An-Nawawy, Ibnu Al-Athar,
Al-Mizzi, As-Sairafi, Adz-dzahabi, dan Qadli al quddah ibnu Jama’ah. Untuk
memperkuat teorinya, beliau selalu mengambil contoh (syahid) dalam teks-teks
Al-Qur’an, hadits, dan syair sastrawan Arab. Semua pemikiran yang diproses
melalui paradigma ini, dituangkan dalam kitab-kitab karangan beliau, baik
berbentuk nadzom (syair puitis), bahkan berbentuk natsar (prosa).
Membuka Tabir Dalam Filosofi Nadzom Alfiyah ibnu Malik
فَارْفَعْ
بِضَمٍّ وَانْصِبَنْ فَتْحًا وَجُرّ # كَسْرًاكَذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرّ
وَاجْزِمْ
بِتَسْكِيْنٍ............
Alamat (tanda) i’rob ada dua macam,
yaitu : alamat asli dan alamat pengganti. Adapun alamat asli ada 4, yaitu :
dlommah untuk rofa’, fathah untuk nashob, kasroh untuk jer, dan sukun untuk
jazm.
Ma’na
tafsiri :
·
Setiap manusia pasti tidak akan
pernah terlepas dari sebuah permasalahan. Dalam menyelesaikan permasalahan,
kita perlu untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan musyawarah. Kemudian,
dalam bermusyawarah, kita perlu menanamkan sifat keterbukaan, selanjutnya
pecahkanlah permasalahan tersebut, namun jangan sekali-kali melupakan
dzikrullah, karena hanya Allah lah yang Maha Memberi Petunjuk dan Maha Benar.
Kemudian, terimalah hasil musyawarh tersebut dengan hati yang penuh ketenangan.
نَكِرَةٌ قَابِلُ
اَلْ مُؤَثِّرَا # أَوْ وَاقِعٌ مَوْقِعَ مَا قَدْ ذُكِرَا
Isim itu ada dua macam, yaitu : 1.
Isim nakiroh dan 2. Isim ma’rifat. Isim nakiroh adalah isim yang bisa diberi ال yang menjadikan isim tersebut ma’rifat, atau lafadznya tidak
menerima ال
akan tetapi searti dengan lafadz yang bisa diberi ال.
Ma’na
tafsiri :
·
Dalam syair tersebut, sang pujangga
Andalus menjelaskan bahwasanya kita (manusia) merupakan makhluk yang tiada bedanya
antara satu dengan yang lainnya, kita tidak ada bedanya dengan hewan, jin,
bahkan dengan Malaikat. Namun, sebagai manusia kita harus bersyukur, karena
kita memiliki sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang bisa kita banggakan
dibandingkan dengan apa yang telah dimiliki oleh Malaikat, Jin, maupun hewan.
Kita (manusia) dianugerahi akal pikiran, sehingga selain dapat membedakan
dirinya dengan makhluk lainya, kita juga dapat mencari cahaya kebenaran yang
sejati. Karena perlu diingat bahwasannya jika manusia mampu menemukan cahaya
kebenaran tersebut, maka sejatinya ia lebih mulia dari Malaikat, sebab dengan
menemukan cahaya kebenaran. Hal itu merupakan sebuah pertanda bahwa manusia
mampu melawan hawa nafsunya, sedangkan Malaikat tercipta dengan tanpa hawa
nafsu. Maka, tak heran lagi jika mereka selalu taat beribadah. Namun, jika ia
(manusia) terjerumus dalam jurang nafsu, maka ia tak jauh bedanya dengan hewan,
bahkan ia lebih hina dari hewan. Sebab ia sudah diberikan akal pikiran, namun
tidak ia pergunakan, sedangkan hewan tidak diberikan akal pikiran, maka tak
heran jika hewan tak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
وَغَيْرُهُ مَعْرِفَةٌ
كَهُمْ وَذِى # وَهِنْدَ
وَابْنِيْ وَالْغُلَامِ وَالَّذِي
Selain isim nakiroh,disebut sebagai isim ma’rifat, dan isim ma’rifat itu
ada 6 macam, yaitu : 1. Isim dlomir, 2. Isim ‘alam, 3. Isim isyaroh, 4. Isim
maushul, 5. Isim yang dima’rifatkan dengan ال , 6. Isim yang dimudlofkan pada salah satu isim ma’rifat yang
telah disebutkan.
Ma’na tafsiri:
·
Syair sang pujangga Andalus
tersebut, menjelaskan tentang enam tingkatan (yang disuguhkan Syekh Ibnu Malik
al-Andalusy dalam sebuah kitabnya yang berjudul Alfiyah ibnu Malik) untuk
menuju maqom makrifat billah, yaitu maqom tertinggi di sisi Allah.
Adapun 6 tingkatan
tersebut adalah :
1. Pertama-tama seorang salik harus mempunyai
sifat seperti lafadz hum (isim dhomir), yakni si salik harus bisa menata
hatinya (dhomir) terlebih dahulu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : إنماالأعمال بالنيات.
2. Setelah
salik (pencari makrifat) mampu menata hatinya, ia kemudian harus seperti lafadz
dzi (isim isyaroh), yakni ia harus membuktikan keyakinan dalam hatinya tersebut
dengan isyaroh. Isyaroh terhadap Allah swt cukup dengan kita melaksanakan
segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
3. Setelah
salik membuktikan keyakinannya yang terpatri dalam hati dengan isyaroh atau perbuatan
(beribadah), maka selanjutnya yang harus ditempuh oleh salik adalah harus
seperti lafadz hindun (alam asma/jenis), yaitu dalam proses menuju tingkatan
berikutnya (alam asma/jenis), si salik harus mencari seorang mursyid untuk
membimbingnya dalam penyerahan diri kepada Allah, karena sifat alami manusia
yang mudah lupa dan melakukan kesalahan sehingga mengharuskan manusia harus
mempunyai pendamping.
4. Tingkatan ke
empat yang harus dilalui salik adalah seperti lafadz ibny (isim yang
dimudhofkan), yakni seorang salik harus bisa memudhofkan dan menyandarkan
dirinya bahkan hatinya dengan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam setiap waktu
dan setiap perbuatan.
5. Tingkatan
selanjutnya yang harus ditempuh oleh si salik dalam mencapai maqom makrifat
adalah si salik harus mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding dengan
orang-orang awam pada umumnya, salik harus bisa seperti lafadz al-ghulaami (al
ta’rif), yakni al yang mampu memakrifatkan isim nakiroh. Keistimewaan yang
harus dimiliki oleh salik tercermin dalam usaha-usaha pendekatan diri kepada
Allah swt.
6. Pada
tingkatan yang terakhir ini, seorang salik harus mampu seperti lafadz al-ladzi
(isim mausul), dengan kata lain salik harus mampu menghadirkan Tuhan dalam
setiap amal ibadahnya, pikiran dan jiwanya harus bisa terpusat pada satu titik,
Allah pencipta jagad, saat ia melaksanakan segala sesuatu dalam kehidupannya, ia
harus mampu wusul dengan Allah swt, merasakan kehadiran Allah dalam setiap
pekerjaannya.
لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ
# كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ
Dlomir muttashil نَا itu bisa digunakan untuk mahal rofa’, nashob, dan jer dengan
menetapi satu lafadz dan arti serta tidak merubah kedudukannya sebagai dlomir
muttashil. Seperti lafadz اعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا
نِلْنَا اْلمِنَاحَ “ketahuilah,
sesungguhnya kita telah memperoleh anugerah yang banyak”.
Ma’na tafsiri:
·
Adapun ma’na yang terkandung didalam
bait ini menunjukkan adanya sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan continue
seperti dlomir (نَا) dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan yang tinggi (رفع),
tengah-tengah (نَصْب), maupun dalam keadaan dibawah (جَرِّ). Sehingga, janganlah berubah dari
aktifitas atau perbuatan sehari-hari, karena tak selamanya hidup itu ada di
atas dan yang di bawah, tak selamanya hidup di bawah.
·
Di dalam bait ini juga mengajarkan
kita agar kita bisa menjadi seperti dlomir (نَا) yaitu selalu bersikap teguh dalam
berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh pemikiran-pemikiran bahkan
aliran-aliran baru.
وَفِي
اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُنْفَصِلْ # إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِيْئَ
اْلمُتَّصِلْ
Dalam keadaan ikhtiyar tidak boleh mendatangkan dlomir munfashil, selagi
masih diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil.
Ma’na tafsiri:
·
Bait ini menjelaskan kita dianjurkan
agar tidak meminta bantuan kepada selain Allah selama kita dalam keadaan yang
tidak kepepet dan masih mampu untuk mengerjakannya sendiri tanpa bantuan orang
lain ataupun benda-benda.
وَقَدِّمِ
اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ # وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
Apabila ada dua dlomir muttashil mahal nashob berada pada satu kalimat,
maka harus mendahulukan yang lebih ma’rifat, akan tetapi bila salah satu dari
dua dlomir tersebut dijadikan munfashil, maka boleh mendahulukan yang mana
saja, baik yang lebih ma’rifat atau sebaliknya jika tidak ada serupa, akan
tetapi jika ada serupa, maka wajib mendahulukan dlomir yang menghilangkan
keserupaan.
Ma’na tafsiri:
·
Dahulukanlah orang yang lebih
istimewa/yang lebih khusus dalam hati, daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak
kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang
tidak kamu kenali.
وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ # مَالَمْ تُفِدْ
كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ
Isim nakiroh
itu tidak bisa dijadikan mubtada’, kecuali jika ada musawwigh (sesuatu yang
memperbolekan).
Ma’na tafsiri:
·
Keberadaan mubtada’ itu diumpamakan
sebagai seorang pemimpin yang ma’rifat (mengetahui), dan dia harus menjelaskan
perkara yang menyenangkan, dia harus memiliki ilmu, dan memiliki kekuasaan,
serta bisa dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu
terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh).
وَأَخْبَرُوْا
بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَا # عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا
Para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau
lebih.
Ma’na tafsiri:
·
Seperti halnya yang sudah kita
ketahui bahwasannya setiap mubtada’ hanya memiliki satu khobar, tapi juga di
perbolehkan mubtada’ itu memiliki lebih dari satu khobar seperti contoh محمد قَائِمٌ عَالِمٌ.
Mubtada’ pada
bait ini diseumpamakan sebagaimana seorang laki-laki/sang suami. Sedangkanخبر diseumpamakan sebagaimana seorang perempuan/istri.
Sehingga dalam bait ini juga menjelaskan bahwasannya pada umumnya laki-laki
hanya punya satu orang istri, tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar
(istri) lebih dari satu.
لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ # وَلَوْ تَوَالَتْ
زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ
aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut,
sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong.
Ma’na tafsiri:
·
Bait ini juga bisa dibuat sebagai
dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh, meskipun
barisan musuh lebih banyak.
وَمَا يَلِي
اْلمُضَافَ يَأْتِي خَلَفَا # عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا
حُذِفَا
Lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam
I’rob apabila mudhof di buang.
Ma’na tafsiri:
·
Jika mudlof terbuang maka
tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan
hubungan antara seorang kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah
kamu seperti seorang santri. Jangan berlagak seperti layaknya seorang kyai.
Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu
melakukan tradisi atau perbuatan yang telah dicontohkan oleh kyaimu dahulu.
فَأَلِفُ التَّأْنِيْثِ مُطْلَقَا مَنَعْ # صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ
Alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang
mengandunginya, manakala memasukinya.
Ma’na tafsiri:
·
(أَلف) cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْثِ) itu tercegah secara mutlak,
karena cinta tersebut bisa mencegah terhadap kesuksesan angan-angan.
Sumber rujukan :
Ø أوضح المسالك (terjemah Alfiyah ibnu Malik) – M. Maftuhin
Sholeh Nadwi
Ø شرح ابن عقيل
على الألفية
Ø دليل السالك إلى ألفية ابن مالك - Abdullah bin Shalih al-Fawzan
Ø
Dahlan
Alfiyah – Ahmad Zaini Dahlan