MAKALAH
TEOLOGI ISLAM
PAHAM MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH, DAN
MATURIDIYAH
Dosen Pembimbing:
Dien Nur Chotimah, M.Pd
Disusun oleh:
Ahmad
Dliya Almunabbih (13310015)
Silviyatul
Maghfiroh (13310022)
Syaidatu
Alfi Nur Faizah (13310053)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
KATA PENGANTAR
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور
الدنيا والدين. والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما
بعد...
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas izin dan kehendak-Nya makalah
sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga, dan seluruh
sahabatnya.
Penulisan dan
pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi Islam.
Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai “Beberapa Aliran Dalam
Teologi Islam, Kerangka Berfikir, dan Pemikirannya: a. Mu’tazilah, b.
Asy’ariyah, dan c. Maturidiyah”.
Dalam penulisan
makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya ilmu
pengetahuan kami mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing kami
yang telah memberikan limpahan ilmu kepada kami.
Kami menyadari
akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha
semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih
maksimal.
Harapan kami,
makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dalam
mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini berguna bagi
siapapun yang membacanya.
Malang, 6 Oktober 2016
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam
merupakan agama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah untuk mengatur
interaksi antara manusia dengan Allah, sesamanya, dan juga dengan dirinya sendiri.
Terlalu maraknya pemikiran ideologis yang kini sudah tidak menyatu lagi dalam
tubuh umat, menjadi permasalahan utama dalam Islam. Oleh karena itu, perlu
adanya upaya untuk mengembalikan kembalinya pemikiran ideologis kepada diri
umat yang bukan hanya kewajiban syara’, melainkan juga merupakan kewajiban
politik, sosial dan pendidikan umat, baik secara pribadi maupun kolektif.
Munculnya berbagai macam golongan-golongan
aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama
Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongandengan segla pemikirannya.
Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang terjadi karena pertentangan
antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan
yang baru, yaitu golongan Khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain
sebagai reaksi dari golongan satu dengan golongan lainnya.
Golongan-golongan tersebut mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda antara stu dengan yang lainnya. Ada yang masih
dalam koridor al Qur’an dan sunnah, namun ada pula yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada
yang berpegang pada wahyu, ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan
sehingga keluar dari wahyu. Dan ada pula yang menamakan dirinya sebagai
ahlussunnah wal jama’ah.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
bentuk pemahaman dalam aliran Mu’tazilah?
b.
Apa
saja ajaran dalam aliran Asy’ariyah?
c.
Apa
yang membedakan paham Maturidiyah dengan paham-paham lainnya?
1.3
Tujuan
a.
Memahami
ajaran dalam aliran Mu’tazilah
b.
Mengetahui
ajaran paham Asy’ariyah
c.
Membedakan
Maturidiyah paham-paham yang lain
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Aliran Mu’tazilah
Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang
sebenarnya bagi ilmu kalam (teologi Islam). Hampir setiap pemikiran penting
dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Mereka telah
membahas sebagian problematika ilmu kalam ini pada tahun-tahun pertama abad
ke-2 H. mereka serius menggeliutinya sekitar satu setengah abad. Memang
Mu’tazilah merupakan aliran rasional dalam Islam yang paling banyak punya teori
dan tokoh. Mereka membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum
diketahui melalui metode filsafat.
Mereka memberikan pemecahan atas problematika-problematika pelik semisal teori kammun,
tafrah, dan tawallud, dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru.
Dengan nama studi tentang akidah, mereka membahas masalah moral, politik,
fisika, dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran filsafat yang
berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia, yang merupakan
filsafat Islam itu.
Problematika kebebasan kehendak menurut
aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan prinsip keadilan (Tuhan) yang mereka
kembangkan. Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan menyatakan bahwa Tuhan
itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim dengan memaksa kehendak kepada
hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya.
Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa
ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidak adil jika Tuhan memberi
pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan
kebebasan terlebih dahulu.
Mayoritas Mu’tazilah memegangi pendapat
yang mengatakan bahwa perbuatan manusia itu berasal dari manusia itu sendiri,
karena terkadang perbuatan-perbuatan itu mengandung aspek kedzaliman dan dosa,
padahal mustahil Allah berbuat dzalim. Sebab, Allah telah mengutus rasul dan
memberi berbagai taklif (tugas-tugas keagamaan), dimana keadilan tidak
mungkin menghisab kecuali terhadap apa yang mereka perbuat.
Mereka memandang bahwa keadilan Allah menjadi hilang bila seseorang dituntut
harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab
tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki.
Keadilan Allah menuntut
bahwa manusia haruslah bebas. Karena tanpa adanya kebebasan ini, kenabian dan
risalah tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau taklif bahkan
untuk apa pengutusan para rasul kepada orang yang tidak memiliki kebebasan
dalam mengikuti dan mendengarkan dakwah mereka? Bagaimana seseorang
diperintahkan untuk melakukan atau tidak melakukan (sesuatu) sedangkan ia tidak
memiliki kehendak? Namun kebebasan kehendak tidak terbatas pada prinsip
keadilan saja, tetapi juga berkaitan dengan prinsip tauhid. Karena jika manusia
memiliki kehendak dan kekuasaan yang berdiri sendiri, bagaimana kita bisa
menyelaraskan dengan kehendak dan kekuasaan Allah? Apakah ada perbuatan-
perbuatan yang melampaui kekuasaan Allah? Apakah ada sesuatu yang terjadi di
dalam kerajaan-Nya selain yang dikehendaki-Nya? Jika kita mengembalikan segala
sesuatu kepada Allah, maka dengan alasan apa manusia dihisab dan disiksa?
Di
sinilah aliran Mu’tazilah berlomba-lomba mengajukan pemecahan yang diarahkan
kepada sikap tengah dan sinkretis. Mereka semua menerima ilmu Allah, bahwa
hal-hal yang tersembunyi bagi Allah tidaklah tersembunyi. Ia mengetahui secara azali,
apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa
kekuasaan manusia yang bersifat temporal (al-hadisah) itu bersumber dari
kekuasaan yang Eternal (al-Qadim), karena Allah telah memberi suatu
kemampuan kepada hamba yang secara umum bisa dipergunakannya untuk melakukan
dan meninggalkannya, atau Ia menciptakan suatu kekuatan kepada hamba-Nya ketika
ia menghadapi semua aktivitasnya. Kemampuan baru ini setiap saat berpengaruh, keterpengaruhannya
itulah yang merupakan tempat adanya pahala dan siksa. Analisa yang berkaitan
dengan problematika kehendak berhubungan erat dengan tiga teori pelik, yakni
penciptaan perbuatan, istita’ah dan tawallud.
Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah
mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan
kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap
manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak
pernah berubah. Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di alam
semesta.
Kebebasan manusia, yang
memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan
dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri
terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat
tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan
tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah
terbatas. Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak
berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya
kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak
menghendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi
Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai
kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.
Mu’tazilah membagi
perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi: Ikhtiariah dan idtirar.
Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah tindakan-tindakan yang dituju akal
manusia dengan berdasarkan pada pengetahuan dan kehendak. Perbuatan-perbuatan
jenis ini merupakan alasan bagi taklif seperti shalat dan puasa. Sedangkan
perbuatan-perbuatan idtidar adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan
sendirinya, tanpa ada campur tangan dari kehendak manusia, seperti api membakar
dan menggigil ketika dingin. Pengaitan perbuatan itu kepada manusia
kadang-kadang secara allegoris (majaz) karena perbuatan itu terjadi di
tangannya. Pembagian ini mirip dengan pembagian yang dilakukan oleh sebagian
teolog klasik dan modern, yang sebelumnya telah dijelaskan klasifikasi yang
menyamainya pada Yahya al-Dimasyqi. Perbuatan adalah sesuatu yang temporal,
sehingga harus ada yang menciptakan. Mu’tazilah serius mengkaji masalah ini,
khususnya tentang pencipta bagi perbuatan-perbuatan ikhtiariah.
Pandangan Mu’tazilah
secara keseluruhan, nampak dalam al ushul al khamsah, yaitu tawhid,
al ‘adl, al wa’d wal wa’id, al manzilah bainal manzilatayn,
dan al amr bil ma’ruf wa an nahy ‘anil munkar. Secara detail, pandangan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Mengenai
tauhid, bahwa Allah swt. Adalah dzat yang Maha Dahulu, yang wajib diketahui
melalui sifat-sifat yang layak untuk-Nya; kemudian wajib diketahui bagaimana
sifat-sifat tersebut layak untuk-Nya, juga wajib diketahui sifat wajib dan
mustahil dalam setiap waktu, dan mana yang layak dalam satu waktu, rtidak untuk
waktu yang lain; kemudian wajib diyakini, bahwa dari keadaan-Nya ini Dia mesti
tetap satu, tidak ada yang menandingi dan menyekutukan dengan sifat-sifat, baik
melalui penafian maupun pembuktian, berdasarkan batasan yang layak untuk-Nya.
b.
Mengenai
keadilan adalah wajib diketahui bahwa seluruh perbuatan Allah itu baik. Allah
tidak akan memberikan taklif kepada manusia yang tidak mampu dipikulnya
dan dia ketahui, tetapi Dia akan memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk
melaksanakan apa yang Dia tugaskan kepada mereka.
c.
Mengenai
al wa’d (janji), ia adalah setiap berita yang berisi pemberitahuan
manfaat kepada yang lain, atau menolak kemudaratan darinya pada waktu yang akan
datang. Tidak ada bedanya, baik janji tersebut baik dan layak, atau pun tidak.
Seperti yang dinyatakan, bahwa Allah telah menjanjikan pahala untuk orang yang
taat, maka juga seharusnya dinyatakan, bahwa Dia menjanjikan kemuliaan kepada
mereka, padahal tidak berhak. Sedangkan al wa’id (ancaman) adalah berita
yang berisi pemberitahuan bahaya kepada yang lain, atau pencabutan manfaat
darinya pada waktu yang akan datang. Tidak ada bedanya, baik ia baik dan layak,
atau pun tidak. Seperti yang dinyatakan, bahwa Allah mengancam orang-orang yang
berbuat maksiat dengan siksa.
d.
Mengenai
manzilah bainal manzilatain (kedudukan di antara dua kedudukan), adalah
bahwa orang mukallaf, tidak akan terlepas dari kemungkinan: sebagai orang yang
memperoleh pahala, atau siksa.
e.
Mengenai
al amr bil ma’ruf wa an nahyu ‘anil munkar, maka maksudnya adalah
perintah melaksanakan kebaikan dan larangan berbuat keburukan dari dirinya
sendiri. Sedangkan bila perbuatan Allah
tidak dapat dikategorikan ma’ruf, dan kejelekan yang berasal dari Allah
tidak dapat pula disebut munkar.
2.2
Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah karena percaya pada
kemutlakan kekuasaan Tuhan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan
kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang
lainnya. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat
yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan
Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap
makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada
hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah
adil bagi Tuhan.
Menurut al-Asy’ari, ada peran manusia
dalam perbuatannya. Beliau tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sama sekali, sebab akan membawa
kepada pengertian bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh dimintai
pertanggungjawaban dalam segala hal yang timbul dalam dirinya. Aliran
Asy’ariyah menganut paham pertanggungjawaban manusia terhadap Allah atas segala
perbuatannya dan tanggung jawab tersebut terkait dengan kasb atau usaha dari
manusia. Jadi, ada perbuatan bagi manusia yang harus dipertanggungjawabkan
walaupun bukan manusia yang menciptakannya. Sulit untuk dibantah bahwa Tuhanlah
yang menentukan berhasil atau tidaknya, atau seberapa jauh hasil usaha manusia
tersebut.
Dan mereka berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak
mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan
sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 16
Surat Al-Buruj, ayat 99 Surat Yunus, ayat 13 Surat As-Sajadah, ayat 112 Surat
Al-An’am, dan ayat 253 Al-Baqarah. Ayat-ayat
tersebut dipahami Asy’ariyah sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku
berarti Tuhan lupa, lalai, apalagi lemah, ini adalah sifat-sifat mustahil bagi
Allah.
Perbedaan antara Asy’ariyah dan Jabariyah
ialah, menurut Jabariyah tidak ada qudrat bagi manusia, dan tidak ada
pula iradah dan tidak ada perbuatan. Sebaliknya menurut Asy’ariyah,
manusia punya qudrat dan memiliki perbuatan serta punya iradah
dimana perbuatannya bersandar kepadanya. Walaupun semuanya diciptakan Tuhan,
namun manusia bisa dikatakn punya pilihan dalam perbuatannya. Menurut
Asy’ariyah dalam memahami agama, ia tidak setuju hanya dengan berpegang kepada nash
semata, karena menurutnya hal itu akan membawa Islam kepada jumud dan
mundur. Sebaliknya ia juga tidak setuju dengan terlalu mengagungkan ‘aql,
yang menurutnya akan membawa Islam kepada kehancuran (al-dimar). Aliran
Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.
Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat
sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak
adil, bila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Secara umum, pandangan Asy’ariyah antara lain
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Tidak
ada seorang pun yang mampu melakukan sesuatu, sebelum melakukannya, atau mampu
keluar dari ilmu Allah, atau melakukan sesuatu dimana Allah Maha Tahu, bahwa
dia tidak akan melakukannya. Allah lah satu-satunya khalik, dan bahwa seluruh
keburukan manusia adalah ciptaan-Nya, begitu juga seluruh perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah dimana manusia tidak mampu menciptakan sama sekali
perbuatannya.
b.
Allah
berada di atas ‘arsy-Nya, dan bahwa Dia mempunyai dua tangan, tanpa harus
diterangkan kualitasnya; Dia mempunyai dua mata, juga tanpa harus
dideskripsikan kualitasnya; dia juga mempunyai wajah.
c.
Nama-nama
Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah mempunyai ilmu. Mendengar dan
melihat merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan
dari-Nya.
d.
Al
Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Ini sebagai kritik terhadap pandangan
Mu’tazilah, bahwa al Qur’an adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, juga
pandangan Hasyawiyyah yang berpendapat bahwa huruf-huruf, jisim, warna, dan apa
saja yang terdapat di antara dua tepi mushaf adalah bukan makhluk.
e.
Pada
hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama; Dia akan dapat
dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab, mereka
dihalangi untuk melihat-Nya.
f.
Orang
yang memeluk Islam, tidak dapat dinyatakan kafir semata-mata karena telah
melakukan dosa besar, seperti zina, mencuri, dan dosa-dosa besar yang lain.
Dengan keimanannya, mereka tetap dianggap mukmin.
g.
Syafa’at
Rasulullah adalah untuk orang-orang yang berdosa besar dari kalangan umat
Muhammad.
2.3
Aliran Maturidiyah
Aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini dikarenakan adanya
perbedaan keduanya dalam menentukan penggunaan akal dan pemberian batas
terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
Karena menganut paham free wil dan free act serta adanya batasan
bagi kekuasaan mutlak Tuhan. Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl Sunnah
wal Jamaah yang tampil bersama Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah
dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kaum Maturiyah
Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan
akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil
daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah.
Para pengikut aliran Maturidiyah, seperti
halnya orang-orang Asy’ariah, memegang teguh teks-teks agama al-Ma’syur,
karena seperti halnya orang-orang Asy’ariah mereka adalah kaum salaf. Sebagai
contoh, mengenai problematika ketuhanan, mereka meneguhkan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yang berbeda dari segala yang temporal. Jadi, Allah Maha Mengetahui
karena sesuatu ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu (yang selama ini dikenal pada
ilmu makhluk), juga Maha Kuasa karena suatu kekuasaan tetapi tidak seperti
kekuasaan (makhluk). Kaum Maturidiyah menggambarkan teori ketuhanan sedemikian
rupa yang bertujuan meng-Esa-kan dan menyucikan (Allah), seperti yang dilakukan
oleh kaum Asy’ariah walaupun mereka berbeda pendapat mengenai sebagian masalah
detail dan partikular.
Menurut Abu Mansur al Maturidi, manusia itu
adalah pelaku yang bebas memilih dalam arti sebenarnya. Masing-masing orang di
antara kita tahu bahwa dirinya adalah bebas memilih apa yang dilakukannya; ia
adalah pelaku yang paling kasib (punya kasab) banyak ayat yang
menguatkan pandangan ini. Perbuatan-perbuatan manusia, walaupun merupakan kasab
baginya, juga diciptakan oleh Allah. Di dalam Al-Quran juga ada ayat-ayat yang
memperkuat pendapat ini dan kami telah menjelaskan contoh-contoh dari kedua
macam perbuatan manusia, karena perbuatan manusia itu merupakan ‘karya bersama’
manusia dengan Tuhan, Allah yang menciptakan dan manusia yang mengkasabkanya.
Semua ini tentunya merupakan pangkal dari bagi perbuatan-perbuatan ikhtiariyah,
sedangkan perbuatan-perbuatan individual berasal dari Allah semata. Berdasarkan
penalaran demikian, al Maturidi tidak menolak-balikan dari Mu’tazilah jika satu
qudrat berkumpul pada dua maqdur, karena aspeknya berbeda, qudrah
Allah mencipta sedangkan qudrah manusia meg-kasab. Menurut al Maturidi,
kasab berarti kesengajaan (al Qasd) dan ikhtiar, karena kasab
merupakan proses (amal) positif yang mendahului aksi, berbeda dari kasab
al-Asy’ari yang semata-mata kebersamaan (musabahah) qudrat hadisah
(kemampuan temporal) dengan maqdur, karena kasab di sini merupakan persoalan
negatif terjadi bersama dengan aksi tidak mendahuluinya.
Menurut al Maturidiyah, al Qasd
(unsur kesengajaan) merupakan salah satu unsur penting bagi kebebasan kehendak.
Al Qasd merupakan pangkal dari taklif (perintah agama), prinsip
bagi pahala dan dosa, juga pujian dan celaan. “Perbuatan-perbuatan itu
tergantung pada niat. Hasil yang akan diperoleh masing-masing orang tergantung
pada niatnya”. Seseorang berniat melakukan perbuatan yang baik, maka Allah pun
menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa melakukannya, dan berhak
menerima pahala karena niatnya itu. Atau, ia berniat melakukan perbuatan yang
jelek, maka Allah pun menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa
melakukannya, dan ia berdosa akan niatnya itu. Sebab, al Qasd murni
tetapi merupakan amal manusia. Memang al Qasd merupakan amal hati tetapi
mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Perbuatan itu sendiri tidak mengkonsekuensikan
pahala dan dosa, dengan bukti bahwa orang yang tidak memiliki al Qasd
tidak terkena taklif seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur.
Perbuatan itu sendiri baik jika dimaksudkan untuk melakukan kebaikan,
sebaliknya menjadi perbuatan buruk jika dimaksudkan untuk melakukan kejelekan.
Al Qasd harus disertai dengan
kemampuan untuk berbuat, yang disebut istita’ah itu. Al-Maturidi telah
merinci masalah ini dengan menjelaskan pula hakikat dan sumbernya. Menurutnya Istita’ah
ada dua macam. Pertama, istita’ah Mumkinah (kemampuan yang mungkin),
yang berarti keselamatan. Sebab alat dan anggota tubuh yang kesemuanya
merupakan pemberian dari Allah yang berfungsi membantu seseorang untuk
melakukan perbuatan. Ia harus ada sebelum seseorang melakukan perbuatan, tidak
ada taklif tanpa istita’ah ini. Oleh sebab itu, seorang muslim
tidak harus menunaikan ibadah haji misalnya tanpa tepenuhinya faktor sangu dan
transport. Kedua, istita’ah muyassirah (kemampuan yang memudahkan),
yaitu qudrah hadisah (kemampuan temporal) yang menyebabkan
manusia bisa berbuat. Qudrat ini diberikan oleh Allah ketika ia berniat
melakukan suatu perbuatan, karena qudrat ini bersamaan dengan aksi
tetapi juga selalu baru dan setiap aksi ada qudratnya sendiri. Jadi, ada
istata’ah yang mendahului perbuatan dan ada pula yang bersamaan dengan
perbuatan. Dengan demikian berarti dengan satu sisi al-Maturidi mengambil dari
Mu’tazilah dan dari sisi lain mengambil pendapat orang-orang Asy’ariah yang
mengatakan bahwa Allah akan mentaklif perbuatan yang manusia tidak sanggup
melakukannya, karena mentaklif orang yang tidak mampu (ajiz) keluar dari
ketentuan hikmah. Ia mengkritik argumentasi yang mereka pergunakan untuk
mendukung prinsip-prinsip itu. Ia juga mengkritik pendapat yang mengatakan
bahwa qudrat tidak bisa diterapkan pada dua hal yang bertentangan,
dengan alasan bahawa qudrat itu merupakan kesiapan untuk berbuat atau
tidak berbuat. Penggerak bagi qudrat adalah melakukan perbuatan taat
karena merespon perintah Allah, atau melakukan maksud karena menyalahi
perintah-Nya.
Dapat disimpulkan tentang beberapa
pandangan dari paham Maturidiyah, antara lain sebagai berikut:
a.
Mengenali
Allah wajib dilakukan dengan menggunakan akal, sekalipun hukum-hukumNya tidak
dapat diketahui secara murni melalui akal. Pandangan ini merupakan pandangan
Abu Haifah, yang mana hampir sama dengan Mu’tazilah.
b.
Pandangan
Allah Maha Suci dari kesia-siaan.
c.
Allah
tidak boleh ingkar janji, sebab Dia berjanji sesuai hikmah-Nya.
d.
Allah
adalah pencipta segala sesuatu, namun hikmah-Nya menghendaki bahwa manusia
berhak mendapatkan pahala dan siksa, setelah manusia diberi pilihan untuk
memilih masing-masing.
e.
Sifat
Allah disebut tidak berdiri sendiri dan tidak terpisah dengan dzat-Nya. Dalam
kasus ini, pandangan Maturidiyah sama dengan Mu’tazilah.
f.
Maturidiyah
berpandangan sama dengan Asy’ariyah mengenai melihat Allah di Akhirat.
g.
Orang
yang berdosa besar, menurut Maturidiyah tidak akan abadi dalam neraka,
sekalipun ketika meninggal dunia belum sempat bertaubat.
BAB III
3.1
Kesimpulan
Mengenai
madzhab ilmu kalam, ada perbedaan perspektif antara ulama’ satu dengan yang
lainnya. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa perbedaan dalam
pengklasifikasian ini hanya berkaitan dengan dua madzhab, yaitu madzhab politik
dan akidah. Madzhab politik, antara lain seperti Syi’ah dan Khawarij, sedangkan
madzhab akidah seperti Mu’tazilah, Jabariyah, dan Ahlussunnah. Perbedaan
pengklasifikasian ini mjuga dapat dipahami, karena semuanya sama-sama
menggunakan isu akidah sebagai upaya untuk menjustifikasi madzhab masing-masing
dan menyalahkan madzhab lain.
3.2
Saran
Dalam pembuatan makalah ini
pasti tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon kritik
dan saran dari pembaca agar dapat kami perbaiki segala kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nukman. 2002. Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan
Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan
Teori Filsafat Islam. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Maghfur,
Muhammad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan: Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam.
Bangil: Penerbit Al Izzah
Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia: Bandung, 2003, hlm.182